Coretan Ketatanegaraan

Tiga Curang dalam Satu Gelanggang

Dalam diskusi itu saya mengapresiasi beberapa hal dalam penyelenggaraan Pileg lalu

Editor: Dheny Irwan Saputra

Oleh: Rifqinizamy Karsayuda

KAMIS, 17 April 2014 lalu di Aula Lantai V Banjarmasin Post, saya bersama Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalsel, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalsel dan Dir Intelkam Polda Kalsel menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Evaluasi Pileg 2014”.

Dalam diskusi itu saya mengapresiasi beberapa hal dalam penyelenggaraan Pileg lalu, misal soal semakin terbukanya KPU dalam mengolah DPT yang dalam beberapa Pemilu sebelumnya dipermasalahkan. KPU juga telah berupaya menghindari kecurangan dalam tahapan rekapitulasi suara, dengan kewajiban mengunduh form C1 sebagai basis laporan dari setiap TPS. Cara ini diharapkan dapat menghindari penggelembungan suara yang dalam Pemilu sebelumnya kerap dicurigai terjadi.

Kendati demikian, saya masih mencatat tiga “curang” yang menyertai Pemilu 2014 ini. Tiga curang ini dilakukan baik secara berbarengan, maupun berdiri secara terpisah dalam satu gelanggang bernama Pemilu Legislatif 2014.

Kecurangan yang pertama adalah soal politik uang (money politic). Istilah politik uang sendiri sesungguhnya tak dikenal dalam UU Pemilu, termasuk dalam UU KUHP kita.

Dalam UU No.8/2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, istilah politik uang diasosiasikan dengan larangan untuk memberikan dan/atau menjanjikan uang dan/atau materi lainnya.

Larangan itu berlaku pada saat pengumpulan dukungan bagi calon anggota DPD RI, saat kampanye dan hari H pencoblosan. Di luar tiga tempus itu, delik “politik uang” tak diatur dalam UU Pemilu kita. Dari ketiga waktu itu, politik uang yang sering terjadi adalah di masa kampanye.

PKPU No.15/2013 jo PKPU No.21/2013 mengatur soal waktu kampanye Pileg 2014 yang dimulai sejak Januari 2013. Artinya sejak awal tahun 2013 lalu, delik larangan melakukan politik uang berlaku bagi peserta pemilu. Lalu mengapa politik uang yang kerap ditemui di lapangan nyatanya tak kunjung ditindak ?

Dalam perspektif hukum tata negara, alasan utama tak kunjung ditidaknya praktek politik uang, khususnya di masa kampanye dikarenakan definisi kampanye dalam UU No.8/2012 masih sangat multitafsir. Kampanye dedifinisikan sebagai kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu.

UU Pemilu itu sendiri tak mengatur sedikit-pun apa itu visi, misi dan program peserta Pemilu, lantaran tak ada kewajiban bagi para peserta pemilu untuk memberikan visi, misi dan programnya secara resmi ke KPU pada saat mendaftar.

Visi, misi dan program kemudian menjadi ruang perdebatan yang tak berkesudahan. Apakah ia diambil dari visi dan misi parpol bagi peserta pemilu yang berasal dari parpol, lalu bagaimana mengukur visi dan misi calon anggota DPD yang notabene bukan dari parpol? Inilah yang acapkali diperdebatkan aparatur penegak hukum kepemiluan.

Satu peistiwa yang nyata-nyata menjanjikan atau bahkan memberikan uang dan/atau materi lainnya, tanpa disertai visi, misi dan program si peserta pemilu tak dikatagorikan masuk dalam delik “politik uang” ini. Akibatnya, kecurangan berupa politik uang menjamur hingga menjadi budaya buruk yang tak berkesudahan dalam demokrasi kita.

Kecurangan kedua adalah soal kemungkinan terjadinya “permainan suara” dalam tahap rekapitulasi. Minimnya jumlah saksi baik oleh parpol, terlebih calon anggota DPD masih membuka peluang untuk terjadinya pelanggaran ini. Pemilu kita dengan sistem suara terbanyak juga membuka potensi persaingan antar caleg di internal partai secara ketat, sementara saksi yang tersedia rata-rata adalah saksi parpol, bukan saksi caleg.

Persekongkolan saksi parpol dengan caleg dari parpolnya yang dibantu aparat penyelenggara pemilu dapat merubah perolehan suara antar caleg dalam satu parpol.

Sebagai contoh, perolehan suara parpol C di TPS 101 adalah 120 suara yang terdiri dari suara parpol 50 suara, suara caleg no urut 1 = 50 suara, caleg no urut 2 = 10 suara, caleg no urut 3 = 10 suara. Dalam rekapitulasi suaranya dapat berubah menjadi, suara parpol C=120 suara yang terdiri dari, suara parpol=10 suara, caleg no.urut 1=40 suara, caleg no. urut 2=60 suara, caleg no urut 3=10 suara.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved