Coretan Ketatanegaraan
Mandulnya (Fungsi) Parlemen Kita
Perbincangan informal itu kami lakukan, sebelum digelarnya rapat dengar pendapat DPRD setempat dengan
Oleh: Rifqinizamy Karsayuda
HAJI Hasan, seorang politisi yang telah dua periode duduk di salah satu DPRD Kabupaten di Kalimantan Selatan, pagi itu berbincang cukup serius dengan saya.
Perbincangan informal itu kami lakukan, sebelum digelarnya rapat dengar pendapat DPRD setempat dengan masyarakat dan kami, tim Ahli Hukum dari Unlam. Seperti biasa, kami kerap dimintai pendapat hukum, jika ada sengketa antara masyarakat dan pemerintah dalam berbagai lapangan hukum.
Saya dan Haji Hasan tak membahas persoalan inti perihal pertemuan yang akan digelar oleh Dewan. Kami justru asyik bicara soal Pileg 2014 yang baru saja berlalu.
Pileg yang telah diikuti oleh Haji Hasan ketiga kalinya dan kembali akan mengantarkannya ke gedung Dewan itu untuk periode ketiga. Menurutnya, ini adalah Pileg termahal dan tergila yang pernah ia ikuti.
Mahal, karena memang biaya politiknya tinggi. Tak cukup hanya sekedar silaturrahmi dan menyapa warga katanya. Si politisi wajib membawakan sesuatu jika bertandang.
Itupun tak serta merta menjamin suara yang bersangkutan untuk dipilih di Pileg. Pileg bagaikan arena pasar bebas dengan rumus, siapa yang lebih mampu membayar mahal, maka ia berhak mendapatkan suara.
Gila, karena para politisi semakin menghalalkan berbagai cara untuk meraih simpati. Bukan hanya dengan uang, sebagian dengan pengaruh dan intimidasi kekuasaan. Bagi yang tak siap menghadapi cara-cara gila ini, maka bukan tak mungkin akan betul-betul menjadi gila.
Selain pernyataan soal mahal dan gilanya Pileg yang baru saja beliau ikut, saya tertarik dengan pendapatnya, bahwa Parlemen akan mandul dalam bekerja. Parlemen mandul, karena ia terbentuk dengan biaya politik yang tinggi dalam Pileg.
Biaya politik yang tinggi itu menjadikan banyak anggota legislatif bekerja untuk mengembalikan melalui berbagai kewenangan yang ia miliki selaku anggota Dewan.
Tiga fungsi parlemen, yaitu legislasi, penganggaran dan pengawasan dijalankan secara terbata-taba, bahkan mandul. Fungsi pengawasan misalnya, hampir tak pernah dapat dilaksanakan dengan baik, lantaran pihak eksekutif sebagai mitra kerja justru selama ini
menjadi ajang bancakan para anggota dewan.
Mitra kerja di eksekutif justru kerap dimanfaatkan untuk meraih keuntungan melalui berbagai proyek dan program yang dananya ada di pihak eksekutif.
Anggota-anggota Komisi bidang infrastruktur di DPR/D misalnya, justru kerap menjadi brooker proyek yang dananya ada di Kementrian/Dinas PU. Padahal jalanya proyek itulah yang semestinya menjadi objek pengawasan yang dilakukan oleh pihak DPRD.
Pengawasan tak pernah dilakukan secara ketat, sebab hampir seluruh pekerjaan yang dilakukan oleh pihak eksekutif tak ubahnya adalah “titipan” dari oknum anggota legislatif.
Begitupula dengan fungsi anggaran yang dijalankan oleh DPR/D. Fungsi ini nampaknya belum terlalu optimal untuk menghadirkan anggaran yang betul-betul dapat menjawab problemantika rakyat. Pembahasan anggaran yang dilakukan eksekutif dan legislatif akhirnya bermuara pada akomodasi kepentingan kedua belah pihak. Anggaran yang menjadi kebutuhan riil rakyat, namun tak dapat mengakomodasi kepentingan elite di eksekutif dan legislatif cenderung tak dianggarkan. Akibatnya, problemantika yang ada tak kunjung terselesaikan.