Lawan

NEGARA ini sedang galau, nggak elite parpolnya, nggak elite pemerintahannya, nggak elite DPR-nya pula.

Penulis: nurlembang | Editor: Dheny Irwan Saputra
zoom-inlihat foto Lawan
dokbpost
H Pramono BS

Oleh: H. Pramono BS

NEGARA ini sedang galau, nggak elite parpolnya, nggak elite pemerintahannya, nggak elite DPR-nya pula. Seperti cacing kepanasan saja, menggeliat, memberontak, tidak mau menerima kenyataan.

Rupanya pilpres telah melahirkan dendam kesumat, permusuhan dan sikap yang tidak legawa. Segala daya upaya ditempuh untuk melumpuhkan sang pemenang.

Suasana seperti ini memang terasa sejak kampanye pilpres. Ada persaingan tidak sehat, ada nuansa berani menang tapi tak berani kalah. Penghinaan, caci maki, fitnah sampai ejekan tak pernah berhenti.

Sayangnya tak pernah ada penyelesaian meski sudah dilaporkan pada yang berwajib, sehingga terkesan ada yang diistimewakan. Ketika kalah reaksinya di luar dugaan. Meski KPU (Komisi Pemilihan Umum), Mahkamah Konstitusi (MK) dan PTUN (P engadilan Tata Usaha Negara)sudah mengeluarkan keputusannya, pihak yang kalah tetap berusaha mengadang.

Yang lagi ribut sekarang adalah usulan Koalisi Merah Putih (KMP) pada pembahasan RUU Pilkada agar pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat tapi kembali lewat DPRD.

Di DPR, koalisi  beranggotakan Golkar, Gerindra, PPP, PAN, dan PKS. Demokrat mengaku tidak masuk koalisi mana pun tapi mendukung usulan KMP.

Ini memang mengherankan karena dalam pembahasan-pembahasan terdahulu semua fraksi mendukung pemilihan langsung oleh rakyat.

Mengapa sekarang minta dikembalikan lewat DPRD. Apa karena sadar posisinya sudah lebih kuat dari Koalisi pendukung pemerintah, sehingga bisa mudah menggilasnya?

Lebih membingungkan, dalam RUU Pilkada, pemerintah setuju pilihan langsung. Pemerintah itu dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tetapi dalam koalisi, Demokrat yang juga dipimpin Yudhoyono mendukung pemilihan lewat DPRD.

Prabowo Subianto sendiri tak banyak reaksi. Yang ribut pengikut-pengikutnya yang notabene dulu menjatuhkan Presiden Soeharto, hingga lahirlah demokratisasi dalam pilkada dan pilpres sebagai jawaban dari tuntutan reformasi.

Orang seperti Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), Wakil Gubernur DKI, sampai gerah menyikapi Partai Gerindra yang selama ini menjadi tempatnya bergantung. Dipicu dari ketidaksetjuannya terhadap sikap Gerindra yang mendukung pilkada lewat DPRD, Ahok mundur dari partai itu.

Menurut Ahok, pemilukada  lewat DPRD hanya akan menimbulkan korupsi, kepala daerah tidak lagi memikirkan rakyat tapi hanya memikirkan tuntutan dari DPRD.

Apa yang dikatakan Ahok sama dengan pendapat sejumlah tokoh masyarakat, pengamat bahkan para kepala daerah yang berkumpul di Jakarta, beberapa hari lalu.

***

Aroma untuk menyalip di tikungan terasa sejak Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) disahkan.

Pasal-pasal yang sangat krusial dari UU MD3 ini antara lain, pimpinan dewan sampai komisi ditentukan lewat pemilihan dengan sistem paket. Sebelumnya didasarkan pada perolehan suara terbanyak dalam pemilu legislatif.

UU ini ditetapkan setelah pemilu legislatif dimenangkan PDIP.  Disengaja atau tidak ini mengadang kader PDIP menjadi Ketua DPR.

Perolehan suara PDIP dan koalisinya (PKB, NasDem, Hanura) jauh di bawah KMP.

Orang terkejut menyikapi UU MD3 dan RUU Pilkada itu. Sebab terkesan ada kepentingan terselubung, bukan kepentingan rakyat. Orang lebih  mengaitkan adanya upaya untuk merebut kekuatan di level bawah sehingga kekuatan pemerintah mendatang  bisa tereliminasi.

Terlalu naif kalau tidak tahu manfaat pemilukada langsung. Tokoh-tokoh yang bagus tapi tidak punya uang, bisa terpilih.  Siapa yang kenal Jokowi 10 tahun lalu? Atau Ahok, Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), dan Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung). Mereka naik ke permukaan lewat pemilukada langsung.

Sebenarnya rakyat pun sudah jengah dengan pemilukada yang membuat ketidaknyamanan. Tidak sedikit yang mendukung dikembalikan pada DPRD.

Sayangnya usulan yang sekarang mudah ditebak latar belakangnya. Berangkat dengan niat yang lain sehingga masyarakat malahan menolak.

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman sampai geram. Satu kata yang muncul darinya: Lawan.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Akhir Bahagia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved