Roh yang ‘Oncat’

PADA umur 20 tahun Soekarno mendapatkan ilham politik yang kuat menerangi pikirannya. Ilham itu terus menggoda siang dan malam.

Editor: Dheny Irwan Saputra
zoom-inlihat foto Roh yang ‘Oncat’
dokbpost
H Pramono BS

Oleh: Pramono BS

PADA umur 20 tahun Soekarno mendapatkan ilham politik yang kuat menerangi pikirannya. Ilham itu terus menggoda siang dan malam.

Di negeri ini banyak pekerja miskin, lebih miskin daripada tikus. Namun demikian masing-masing menjadi majikan, tidak terikat pada siapa pun. Ada petani, kusir gerobak, pedagang kecil, nelayan dan mereka tidak memperkerjakan buruh.

Semua ditangani sendiri, dengan alat sendiri, hasilnya juga untuk kehidupannya sendiri dan keluarganya. Mereka ini memenuhi sanubari Soekarno. “Golongan apakah mereka ini?” kata Soekarno dalam hati.

Akhirnya suatu hari Soekarno bersepeda ke Bandung Selatan sambil membiarkan pikirannya melayang untuk menemukan sangkar emas yang akan menelorkan ideologi bagi pijakan perjuangannya. Dia bertemu dengan seorang petani, gambarannya persis seperti yang dibayangkan Soekarno muda. Dia bernama Marhaen.

Ya Marhaen, itulah yang kemudian menjadi landasan (istilah sekarang dasar perjuangan, visi misi), partai yang didirikannya pada 4 Juli 1927, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI). Tujuan PNI saat itu adalah kemerdekaan Indonesia.

Ada yang menentang dengan alasan belum siap untuk merdeka, tapi Bung Karno kukuh dengan alasan sudah siap. “Kita merdeka sekarang,” katanya seperti dikutip dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Paham marhaenisme yang dicetuskan Bung Karno membangkitkan semangat perjuangan berapi-api. Marhaenisme adalah rohnya PNI yang mendarah daging di kalangan pengikutnya. Politik Indonesia tak bisa dilepaskan dari kiprah partai ini.

Pada zaman Orde Baru (Orba) pamor PNI merosot sejalan makin kuatnya pemerintahan Soeharto. Bahkan akhirnya PNI dikubur bersama partai-partai berhaluan nasionalis, kemudian menjelma menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), bukan PDIP.

Partai-partai Islam juga diwajibkan bergabung (fusi) hingga muncullah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Indonesia hanya memiliki tiga kekuatan politik, PPP dan PDI dan Golkar yang menjadi kendaraan politik pemerintah.

PDI pun seolah menjadi prototipe dari PNI. Lagu wajibnya pun Mars Marhaen yang semula lagunya PNI. Semangat marhaenisme ibarat api dalam sekam, kepemimpinan PDI terus dipecah belah sehingga sering ada PDI tandingan. Begitu pun PPP.

Tatkala kongres PDI di Surabaya pada 1993, Megawati Soekarnoputri yang mencalonkan diri sebagai ketua umum dijegal oleh rezim Soeharto. Suasananya menegangkan, semua gubernur, kepala Direktorat Sospol Pemda Tingkat I hadir di Surabaya, begitu pula para pejabat militer.

Tujuannya hanya untuk menggagalkan Mega yang semakin tak terbendung. Calon dari pemerintah adalah Budi Hardjono. Kongres pun tidak memilih ketua umum karena kalaupun digelar Mega pasti menang. Tapi lewat munas di Jakarta, Mega diangkat jadi ketua umum.

***

Tapi tidak lama karena sesudah itu pemerintah merekayasa penjegalan Mega melalui kongres yang dipaksakan di Medan. Mega dijatuhkan, diganti Soerjadi. Masyarakat marah dan menjadikan Soerjadi sebagai musuh, dia dilempari, dicemooh dimana pun dia berada.

Para pendukung PDI yang melakukan orasi di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta, dibubarkan paksa oleh aparat sehingga menimbulkan korban jiwa tidak sedikit. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa 27 Juli.

Pemilu 1998 adalah akhir dari perjalanan PDI. Perolehan suaranya anjlok. Pada saat yang sama Mega yang terus digencet oleh pemerintah dengan gagah mendirikan partai baru, PDIP yang kita kenal hingga sekarang. PDIP belum ikut pemilu karena bukan partai yang resmi tapi pendukungnya sangat banyak.

Orang tidak mempersoalkan ideologi PDIP karena yang dilihat Mega yang berarti tak menyimpang dari ajaran Bung Karno. Benar saja tujuan perjuangannya sama, antara lain membebaskan rakyat dari penindasan. Roh marhaenisme yang semula ada dalam tubuh PDI oncat (pergi) ke PDIP. PDI (yang lama) pelan tapi pasti terkubur.

Tak ayal lagi, PDIP tak bisa dipisahkan dari marhaenisme yang bercirikan kebersamaan, gotong royong, kerakyatan. Ajaran Bung Karno terasa ibarat rohnya PDIP.

Dalam setiap pemilu di zaman reformasi ini, banyak partai baru bercirikan nasionalisme, bahkan ada yang bernama PNI. Tapi tidak ada getaran, tidak ada roh, orang lebih berpaling ke PDIP.

PDIP berciri sebagai partainya wong cilik. Pada pemilu 2014 PDIP mengulangi kemenangan pada 1999, bahkan berikut pilpresnya yang dimenangi Joko Widodo.

Zaman terus berubah, kepentingan juga berubah. Masihkan ajaran Bung Karno bersemayam di tubuh PDIP? Apa roh itu sudah oncat? (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Akhir Bahagia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved