RUU Pengampunan Nasional Terancam Gagal Jadi UU
“Saya sebagai pimpinan Fraksi Gerindra di DPR RI belum dapat salinan draft naskah RUU itu, semestinya beberapa hari lalu sudah terima. Saya tanyanyaka
Penulis: | Editor: Didik Triomarsidi
BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA - Rancangan Undang-undang Pengampunan Nasional hasil inisiatif DPR yang kini dalam tahap pembicaraan untuk jadi UU, terancam gagal dijadikan UU karena fraksi Gerindra merasa ditinggalkan dalam hal awal pembicaraan draft RUU ini.
“Saya sebagai pimpinan Fraksi Gerindra di DPR RI belum dapat salinan draft naskah RUU itu, semestinya beberapa hari lalu sudah terima. Saya tanyanyakan kepada beberapa anggota yang katanya ikut membahas draft hanya tertawa-tawa saja tanpa berikan draft naskah pada saya,” kata Desmon J Mahendra dari Fraksi Gerindra ketika didaulat jadi pembicara bahas RUU Pengampunan Nasional didampingi Hendrawan Supratikno dari Fraksi PDI Perjuangan dan Pakar Hukum Abdul Fikar Hajar, Kamis (7/10).
“Ketika baca draft RUU ini ada yang sangat mengganjal yang bagi kami sulit untuk menerima draft yaitu pada Pasal 9 dan Pasal 10 batasan tentang yang tidak bisa diberi pengampunan nasional pemilik dana dari luar negeri, kecuali dana dari terorisme, Hasil Perdagangan Manusia dan Narkoba. Nah, kita tanyakan batasan soal ketiga sumber ini darimana?” ujarnya.
Selain itu, sampai sekarang data wajib pajak kita atau yang kemplang pajak saja tidak jelas.
“Lain lagi, jika mereka itu diberi pengampunan karena uang dari korupsi, apa ini bisa diterima? Makanya posisi kami sampai saat ini bukan pada pilihan menerima atau menolak RUU itu,” tegasnya.
Pakar Hukum Abdul Fikar Hajar mengingatkan, setiap ada krisis moneter pasti ada penumpang gelap untuk menyelamatkan uang mereka sehingga nantinya bisa selamat walaupuna dari hasil yang kurang wajar.
“RUU ini terlalu dini diajukan, lebih baik penekanan kepada tindak pidana ekonomi saja, yaitu memperkuat aliran dana yang kurang jelas sumbernya untuk ditertibkan bahkan diajukan ke tindak pidana korupsi. Contohnya ada UU yang menegaskan jika dana itu tidak jelas dipertanggunjawabkan, maka bisa dimiliki oleh negara,” ucapnya.
Lebih baik, pembenahan soal mereka yang punya dana besar mau menyimpan uang di dalam negeri, bukan di Singapura.
“Kan, sudah jelas, jika di Singapura menyimpan uang itu sangat mudah,” ujarnya.
Juga, soal peninjauan kembali pungutan pajak yang sangat tinggi di Indonesia, bahkan orang yang punya kekayaan Rp 1 miliar bayar pajaknya saja Rp 350 juta. Bagaimana orang mau melaporkan harta kekayaan, potongannya sangat besar, sambungnya.
Hendarawan Supratikno mengakui, dia sebagai anggota Badan Legislatif DPR, posisi hanya menerima usulan itu,sedangkan nanti apa prosesnya terus mau jadi UU, akan dilihat dari selanjutnya.
“Saya melihat ada upaya untuk perbaikan agar uang tidak mengendap di luar negeri tanpa masuk ke kas negara. Itu saja yang saya lihat,” tegasnya.(murjani)

 
							 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											 
											