IDI Tolak Jadi Eksekutor Hukuman Kebiri, Pukulan Telak bagi Pemerintah

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa penolakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk mengeksekusi hukuman kebiri

Editor: Eka Dinayanti
Kristian Erdianto
Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan bahwa sistem hukum di Indonesia melalui konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 sudah menjamin adanya kebebasan berekspresi. Akan tetapi di sisi lain ada peraturan yang mewarisi kebijakan represif. Hal tersebut ia utarakan dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta Selatan, Jumat (20/5/2016). 

BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa penolakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk mengeksekusi hukuman kebiri merupakan pukulan telak bagi pemerintah.

Sikap IDI tersebut dianggap sebagai pembuktian bahwa hukuman yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut tak didasarkan pada kajian dan analisa ilmiah yang mendalam oleh pemerintah.

"Pilihan pemerintah untuk mengambil keputusan tanpa kajian dan analisis mendalam serta melibatkan pihak-pihak yang berkompeten, termasuk para pakar medis dan psikis adalah sebuah tindakan fatal," ujar Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono melalui keterangan tertulis, Jumat (10/6/2016).

Seharusnya, kata Supriyadi, sejak awal pemerintah membuka partisipasi dan masukan dari banyak pihak, termasuk para pakar medis dan psikis.

Sejak awal, pihaknya mendukung penuh IDI untuk bersuara terkait hukum kebiri.

Supriyadi mengatakan, pihaknya mengapresiasi sikap IDI.

ICJR pun meminta agar pemerintah membuka kajian dan analisis yang sudah dilakukan untuk mengeluarkan Perppu 1 Tahun 2016.

"ICJR juga meminta Pemerintah menghormati posisi IDI dan Kode Etik Kodekteran Indonesia," kata dia.

IDI telah mengeluarkan surat tertanggal 9 Juni 2016 yang meminta agar dokter tidak menjadi eksekutor dari Perppu 1 Tahun 2016 yang memuat tindakan kebiri.

Penolakan tersebut didasarkan atas fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia dan juga didasarkan pada Sumpah Dokter serta Kode Etik Kodekteran Indonesia (KODEKI).

IDI juga menyatakan bahwa atas dasar keilmuan dan bukti-bukti ilmiah, kebiri kimia tidak menjamin hilang/berkurangnya hasrat serta potensi perilaku kekerasan seksual pelaku,

IDI juga meminta supaya pemerintah mencari solusi lain selain penggunaan Kebiri Kimia yang sekali lagi dianggap tidak efektif dalam kasus kekerasan seksual.

Pihak IDI juga menyatakan bersedia untuk memaparkan pandangan ilmiah dan etikalnya tersebut di hadapan Presiden Joko Widodo.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved