Memenangkan Buruh dan Pengusaha
Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel), melalui Surat Keputusan No. 188.44/0558.KUM/2016, tertanggal tanggal 27 Oktober 2016, menetapkan upah minimun
Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel), melalui Surat Keputusan No. 188.44/0558.KUM/2016, tertanggal tanggal 27 Oktober 2016, menetapkan upah minimun provinsi (UMP) tahun 2017, sebesar Rp 2,258 juta. Angka itu naik sekitar Rp 173 ribu atau 8,29 persen dari upah tahun sebelumnya (2016) yang mencapai Rp 2,085 juta.
Penetapan itu mengacu Peraturan Pemerintah No.78/2015 tentang Pengupahan. Pada peraturan itu, upah baru ditetapkan bersarkan UMP 2016 Rp 2,085 juta, ditambah angka hasil perkalian inflasi nasional sebesar 3,07 persen dengan upah sebelumnya, ditambah lagi hasil perkalian dari pertumbuhan ekonomi nasional 5.18 persen dikalikan upah 2016.
Meski telah memenuhi kaidah penetapan upah, angka UMP baru itu tidak juga memuaskan semua pihak. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, organisasi buruh di Kalsel pun meminta, agar kenaikan upah 2016 bisa lebih besar dari 10 persen.
Namun begitu, keberatan itu tampaknya tidaklah menggoyahkan keputusan Paman Birin. Selain secara legal formal sudah mengacu pada peraturan yang lebih tinggi, penetapan itu juga telah mempertimbangkan banyak pihak.
Ya, keputusan gubernur soal UMP memang tidak semata-mata melihat kepentingan buruh sebagai penerima upah. Tapi juga mempertimbangkan kemampuan penguasa sebagai pemberi upah.
Artinya, saat Paman Birin membuat keputusan itu, secara sosial dan ekonom i(selain soal aspek yurudis), haruslah mampu memenangkan semua pihak (buruh dan pengusaha).
Ketika semua pihak menang, sama artinya gubernur telah memberikan jaminan pada buruh untuk tetap bisa bekerja. Sekaligus, memberikan kepastian pada penguusaha untuk tetap bisa melangsungkan kegiatan bisnisnya secara normal dan bahkan lebih berkembang.
Apalah artinya memutuskan UMK tinggi yang tak dapat dipenuhi pengusaha. Situasi ini hanya akan memicu banyak dampak. Mulai upaya merasionalisasi jumlah karyawan dengan cara PHK, sampai pada pemindahan lokasi usaha.
Bila situasi ini terjadi, sama artinya UMK baru tidak menjadi alat mensejahterakan rakyat Kalsel, tapi malah menyengsarakan mereka. Sebab, bisa dipatikan akan ada peningkatan jumlah pengangguran atau penurunan jumlah dan volume kegiatan usaha di provinsi ini.
Namun begitu, bukan berarti gubenur sebagai bapak semua rakyat di provinsi ini, tidak mempertimbangkan kepentingan warga Banua. Ketercukupan UMP yang bisa memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) para buruh juga perlu diperhatikan.
Apalah artinya punya buruh (pegawai) bergaji rendah, bila ia tidak bisa produktif karena di sela-sela menyelesaikan pekerjaannya, ia berpikir keras untuk mencari uang lain guna memenuhi kelayakn hidup anak-istrinya.
Jadi, di tengah pertumbuhan ekonomi Kalsel yang lebih rendah dari angka nasional, UMP baru itu setidaknya tidak menyengsarakan buruh dan tidaklah memberatkan pengusaha. Keputusan paman Birin telah menjadikan buruh dan pengusaha sebagai pemenang. (*)
