Menyoroti Reaksi terhadap Kasus Ahok
Fenomena Rela Mati demi Agama
Pada Rabu, 7 Januari 2015, ada kejadian yang menjadi perhatian dunia. Hari itu sejumlah lelaki bertopeng menyerbu kantor majalah Charlie Hebdo di Pari
Oleh: Muhammad Najib, SThI
Alumnus UIN Walisongo Semarang
Pada Rabu, 7 Januari 2015, ada kejadian yang menjadi perhatian dunia. Hari itu sejumlah lelaki bertopeng menyerbu kantor majalah Charlie Hebdo di Paris, Perancis, ketika sedang menggelar rapat redaksi. Atas penyerbuan ini, 12 orang meninggal dunia karena terkena tembakan para lelaki bertopeng itu. Setelah ditelusi motifnya adalah karena majalah Charlie Hebdo menghina Nabi Muhammad SAW. Majalah itu ditengarai telah menerbitkan kartun yang menghina Nabi Muhammad tidak hanya sekali, tetapi berulang kali.
Bukan hanya Charlie Hebdo, pada 30 September 2005, di Denmark beredar karikatur yang mengandung pelecehan terhadap Nabi Muhammad yang dimuat di koran Jyllands-Posten. Jelas bahwa atas peristiwa ini, umat Islam di seluruh dunia merasa tersinggung dan marah karena Nabi agung mereka dilecehkan. Akibatnya, reaksi dalam bentuk aksi demonstrasi sampai penyerangan sekelompok orang tidak dapat dihindari.
Pada 27 Oktober 2016, kejadian serupa seakan terulang lagi. Kali ini terjadi di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Gubernur nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam acara dinasnya di Kepulauan Seribu melontarkan pernyataan, yang berdasarkan kajian mendalam oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), itu menistakan agama Islam. Pernyataan yang dimaksud adalah terkait Alquran surat Al-Maidah ayat 51. Adapun letak pernyataan Ahok menistakan agama Islam adalah bahwa “... dibohongin pake Al-Maidah 51, macem-macem.”
Sontak, pernyataan Ahok ini menuai reaksi dari umat Islam khususnya di Indonesia. Memang, Gubernur DKI Jakarta nonaktif itu sudah melontarkan maaf kepada seluruh umat Islam. Dan, umat Islam menerima permintaan maaf Ahok. Akan tetapi, umat Islam tetap menuntut proses hukum terhadap Ahok segera diproses dan keadilan hukum harus ditegakkan.
Tulisan ini, lebih menyoroti dampak penistaan agama secara umum. Hal ini dimaksudkan agar semua dari kita mengetahui dan memahami kelompok yang berbeda dengan kita, sehingga akan melahirkan pemahaman bahwa sesuatu terkadang tidak bisa diucapkan di ruang publik. Sebab, setiap kelompok mempunyai ruang privat, yang kelompok lain tidak berhak mencampurinya.
Adalah benar dan merupakan sifat alamiah seseorang marah dan sangat tersinggung ketika kitab suci mereka dihina, dinodai. Jangankan kitab suci yang sudah diyakini selama beratus abad lamanya, bendera organisasi manapun ketika dilecehkan akan mengundang kecaman. Apalagi ini menyangkut persoalan sensitif, yakni keyakinan beragama. Sebab, hampir dalam semua agama mengajarkan kepada pemeluknya untuk membela agamanya.
Fenomena rela mati demi agama sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Dengan kata lain, wajar sekali jika bangkit loyalitas, patriotisme pada diri orang-orang untuk membela agamanya.
Memang, setiap orang, apapun agama dan budayanya, harus dihormati, sehingga seandainya pelecehan tertuju, misalnya, kepada Budha atau Konghucu, atau Isa, maka semua yang berbudaya, apapun agamanya harus mengecam sikap tersebut. Atau dalam bahasa Buya Hamka bahwa, “Jika agamamu dinistakan dan kamu diam, ganti saja bajumu dengan kain kafan!”
Beberapa Dampak
Dalam Alquran surat Al-An’am ayat 108, menjelaskan bahwa Allah melarang menghina dan melecehkan sembahan-sembahan kaum musyrik sekalipun. Sikap memahami dan mengajak dengan cara yang baik adalah metode yang diajarkan dalam Islam. Kewajiban umat Islam terhadap nonmuslim adalah mendakwahi dan mengajak kepada Islam, jika seseorang itu tidak mau, maka biarkanlah. Urusan mau atau tidak, itu diserahkan kepada pribadi masing-masing. Sebab, tidak ada paksaan dalam agama (QS Albaqarah: 256).
Dari uraian di atas, sangat gamblang bahwa Islam sangat toleran. Bahkan, sekalipun Islam di Indonesia menjadi mayoritas, umat Islam di Indonesia menghormati dan mematuhi pemimpin nonIslam sekalipun, tentu dalam konteks urusan negara. Misalnya, di Solo ada Wali Kota FX Hadi Rudyatmo. Masyarakat Solo yang notabene adalah basis Islam ‘garis keras’, sampai detik ini menerima Hadi Rudyatmo sebagai pemimpin mereka tanpa adanya perlawanan.
Akan tetapi, kasus Ahok sangat jauh berbeda. Jika umat Islam, terutama belakangan ini ingin ‘memenjarakan Ahok’, itu tidak ada kaitannya dengan Islam tidak toleran atau rasis. Justru Ahok-lah yang tidak toleran dan rasis. Mengapa demikian?
Jawabannya jelas, karena Ahok sudah menerobos dinding-dinding privat agam Islam dengan pernyataannya itu. Tegas kata, Ahok tidak memiliki otoritas dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran seenaknya saja dan menjustifikasi bahwa ayat tersebut bohong dan ulama membongongi pakai ayat untuk tidak memilih dirinya.
Imanuddin bin Syamsuri (2015), dalam penelitiannya menguak dampak-dampak yang terjadi akibat pelecehan atau penistaan agama. Pertama, akan melahirkan kecurigaan, fitnah, saling ancam dan intai terhadap agama yang ditengarai “berkonflik”.
Kedua, dapat memicu terjadinya kekacauan. Terkadang perilaku penistaan agama terjadi bukan semata-mata kebodohan pelakunya ataupun ketidaksengajaan, tapi juga bisa mengarah pada adanya motif-motif tertentu yang ingin dituju pelakunya. Maka, fenomena aksi damai 411 kemarin adalah salah satu bukti terhadap poin kedua ini. Jika indikator-indikator adanya perlindungan dari pihak tertentu terhadap pelakunya, maka kekacauan bisa terjadi. Dalam konteks seperti ini, pihak berwajib harus tegas, cepat, profesional dan tentunya berkeadilan.
Ketiga, akan berujung pada sikap tidak saling menghargai, intoleransi, dan meruntuhkan hubungan baik antarpemeluk umat beragama. Tentu yang demikian ini sangat membahayakan NKRI. Atas nama NKRI, jangan sampai gara-gara satu orang negara ini hancur berantakan. Keempat, merobek-robek pluralisme. Budhy Munawar Rachman ketika memberikan sebuah pengantar buku Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan, yang diterjemahkan oleh Fathi Osman dari buku yang berjudul The Children Adam: an Islamic Perspective on Plurarisme (1996), mengatakan, pluralisme adalah ajaran Alquran yang sangat penting, sejalan dengan pandangan modern yang menyatakan bahwa pluralisme adalah fondasi keadilan dan demokrasi.
Kepastian Hukum
Negeri ini berdiri berkat sumbangsih kaum agamawan dan nasionalis. Kemudian kedua kelompok tersebut disatukan oleh pengalaman sejarah yang sama, nasib yang sama, dan cita-cita yang sama. Itulah sebab, dasar bangsa ini Pancasila dan pilarnya adalah Bhineka Tunggal Ika.
