Menteri Perekonomian dan Menteri ATR Bahas Penerapan "Angka" untuk Pajak Tanah Menganggur

Dalam merumuskan pajak tanah menganggur tersebut, Kementerian ATR terus menjalin koordinasi dengan Kementerian Keuangan

Editor: Elpianur Achmad
KOMPAS.com/IWAN SUPRIYATNA
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil menghadiri diskusi reforma agraria dan perhutanan sosial di Jakarta, Minggu (26/3/2017). 

BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA - Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil mengatakan, penerapan pajak untuk tanah menganggur diperlukan agar tanah tidak menjadi komoditas spekulasi.

"Kami sadar bahwa itu diperlukan dalam rangka kita mengontrol (harga tanah)," kata Sofyan di Jakarta, Minggu (26/3/2017).

Dalam merumuskan pajak tanah menganggur tersebut, Kementerian ATR terus menjalin koordinasi dengan Kementerian Keuangan dalam menentukan besaran pajak yang bisa diterapkan.

"Kami sudah dua atau tiga tiga kali rapat bagaimana untuk menentukan angka," tutur Sofyan.

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution menambahkan, selain Kementerian Keuangan saat ini pihaknya juga terus melakukan pengkajian dan perhitungan yang matang.

"Kami masih merumuskannya. Intinya kami mau mencari developer butuh waktu juga, harus buat hitungan yang baik. Berapa lama dia harus beli lahan dan dikembangkan sebelum kena pajak lebih tinggi," terang Darmin.

Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah mewacanakan dua opsi penerapan pajak tanah nganggur yakni melalui pajak atas keuntungan (Capital Gain Tax/CGT) dan Pajak Final Progresif (PFP). Keduanya merupakan Pajak Penghasilan (PPh).

Cara penghitungan CGT, misalnya tanah harga perolehan Rp 1 miliar, saat dijual mencapai Rp 5 miliar. Selisih Rp 4 miliar hasil penjualan itu lah yang dipajaki.

Bila tarifnya CGT 5 persen, maka pajak yang harus dibayar Rp 200 juta.

Penghitungan PFP, misalnya tanah harga perolehan Rp 1 miliar, saat dijual mencapai Rp 5 miliar. Maka harga jual Rp 5 miliar lah yang akan dipajaki. Bila tarifnya PFP 5 persen, maka pajak yang harus dibayar Rp 250 juta. (KOMPAS.com)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved