Banjarmasin Post Edisi Cetak
Kisah Tanggui, Caping Khas Banjar dan Nasib Para Pembuatnya Kini
Sejumlah perempuan pedagang mengenakan penutup kepala yang terbuat dari daun nipah kering berbentuk setengah lingkaran tampak di pasar terapung Lokbai
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Sejumlah perempuan pedagang mengenakan penutup kepala yang terbuat dari daun nipah kering berbentuk setengah lingkaran tampak di pasar terapung LokbaintanKabupaten Banjar.
Mereka mengayuh perahu sambil menjajakan hasil bumi.
Penutup kepala mereka begitu unik karena mirip tudung saji atau penutup makanan di meja. Itu dalam bahasa Banjar namanya tanggui.
Caping itu tidak hanya digunakan pedagang pasar terapung, tetapi juga petani dan nelayan untuk menghindari terik matahari dan hujan. Lazimnya tanggui digunakan oleh perempuan.
Walau bermunculan jenis penutup kepala, pembuatan tanggui tak pernah berhenti. Setiap hari tanggui dibuat dan dipasarkan ke berbagai kabupaten di Kalsel.
Salah satu sentra produksi tanggui ada di Banjarmasin yakni di Kelurahan Alalak Selatan Kecamatan Banjarmasin Utara.
Sejumlah perempuan di Alalak Selatan, mulai anak-anak, remaja hingga orang tua terampil merangkai daun nipah atau rumbia menjadi tanggui. Meski penghasilannya tidak seberapa, mereka rajin membuatnya untuk menambah penghasilan.
Ini sebagaimana Sariyah (50) yang memang mengandalkan penghasilan dari membuat bakal tanggui. Itu karena sang suami tak mampu lagi mencari rezeki karena terserang stroke.
Ibu empat anak dan nenek dua cucu ini belajar membuat tanggui saat kecil. Keterampilan itu didapat secara turun temurun karena kakek buyutnya adalah perajin tanggui.
Dalam sehari, Sariyah sebenarnya mampu membuat 50 bakal tanggui. Namun saat ini tidak sampai sebanyak itu karena modalnya membeli bahan terbatas.
“Bahannya yaitu daun nipah sebenarnya masih banyak tersedia. Namun saya hanya dapat membeli dua ikat daun nipah. Saya hanya sanggup membuat 10 buah sehari,” ujarnya.
Bahan dibeli dari pemasok yang mengumpulkan daun nipah di Pulau Kembang, Sungai Barito.
Seikat harganya Rp 5.000. Kadang hanya uang sebesar itu yang bisa disisihkan Sariyah setiap hari.
“Seikat nipah bisa untuk membuat 5-6 bakal tanggui. Kemudian saya jual per buahnya Rp 2.000,” ujar Sariyah.
Jika terjual enam tanggui, berarti dia mendapat hasil penjualan Rp 12 ribu. Setelah dipotong modal Rp 5.000, maka keuntungan Rp 7.000 dicukup-cukupkan untuk makan keluarga.
“Kami di sini hanya membuat setengah jadi, karena kalau ingin membuat tanggui yang jadi dan siap pakai, perlu modal tambahan hingga Rp 500 ribu untuk beli latung,” paparnya.
Latung adalah semacam rotan, fungsinya mengikat tepi keliling tanggui. Seandainya produk Sariyah dan warga lainnya adalah berupa tanggui jadi, harga jual ke pengumpul bisa sampai Rp 20 ribu untuk model standar.
“Bahkan tanggui jadi yang diberi hiasan, harganya bisa sampai Rp 30 ribu. Keuntungan juga lebih bisa diharapkan,” ungkap Sariyah yang tidak tahu harus bagaimana caranya mendapat modal.
Bantuan pemerintah tidak pernah ia rasakan. Demikian pula pembinaan hampir tidak ada. Selama ini mereka hanya disuruh ikut pameran atau lomba kerajinan.
“Sebenarnya pembeli tanggui itu banyak. Selalu ada setiap hari karena dijual ke seluruh banua anam. Jadi harapan kami, ada perhatian yang lebih serius dari pemerintah. Selama ini kami bekerja perorangan, kalau ada pesanan besar, misal 200 tanggui, barulah kami berkelompok supaya cukup patungan modal,” tandasnya.
Hal sama dirasakan Halimah (40) yang menjadi perajin tanggui untuk membantu ekonomi keluarga. “Sebenarnya keuntungan didapat tidak memadai untuk beli kebutuhan dapur. Tapi ya, syukuri saja, asal bisa beli ikan untuk lauk sehari-hari,” katanya.
Sebagaimana perajin lainnya, setiap hari Halimah menjemur daun nipah. Jika tidak ada hujan, dalam sehari bisa kering. Kalau mendung apalagi hujan, bisa dua hari baru kering.
Daun nipah kering itu dipotong dan dirangkai menjadi empat bagian, kemudian disambung satu sama lain dan dibentuk dengan bingkai menjadi berupa setengah bola. Selanjutnya dijalin dengan tali karung plastik atau tali rapia. Tanpa finishing berupa memasang latung di sekeliling bundaran tanggui atau ornamen hias.
Para perajin tersebut tempat tinggalnya tak jauh dari Pos Polair. Kondisi ekonomi para perajin yang jauh dari kecukupan, mengundang perhatian para anggota Polair setempat.
Bripka Ronny Setiadi, Kepala Unit Patroli Multifungsi Polair, mengungkapkan, ia selalu mengingatkan perajin agar tetap melestarikan warisan budaya meski masih sulit memberikan rezeki yang diharapkan.
“Pesan kami, budaya jangan sampai hilang, ini sudah turun temurun. Teruslah berkarya untuk banua. Hanya saja kami pun prihatin melihat kondisi ekonomi mereka. Sebab itu kami ingin membantu mereka, insya Allah jika ada rezeki kami akan bantu permodalan semampunya,” paparnya. (*)
Berita inilah terbit di Banjarmasin Post edisi cetak hari ini, Rabu (29/3/2017)
Anda bisa juga mendapatkan berita-berita harian Banjarmasin Post dengan mengklik http://epaper.banjarmasinpost.co.id
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banjarmasin/foto/bank/originals/bpost-cetak_20170329_105837.jpg)