NEWS VIDEO

VIDEO: Semangat Murid Pinggiran Bersekolah Mengayuh Jukung: "Ma, Ulun Tulak Sakulah"

Mereka menjadikan minimnya infrastruktur sebagai kelebihan. Sebagai pelestari kearifan budaya sungai yang sesungguhnya.

Editor: Ernawati

BANJARMASINPOST.CO.ID. BANJARMASIN - DI Belitong ada SD Muhammadiyah Gantong yang reyot tapi memiliki siswa ceradas dan semangat. Di pinggiran Banjarmasin ada SDN Basirih 10.

Meski infrastruktur seadanya, 75 siswa dan guru tetap semangat belajar.

Mereka menjadikan minimnya infrastruktur sebagai kelebihan. Sebagai pelestari kearifan budaya sungai yang sesungguhnya.

Jarum jam menunjukkan angka 07.30 Wita. Sinar sang surya mulai menerobos rerimbunan pepohonan yang ada di bantaran Sungai Kuin Kacil di Simpang Jelai Banjarmasin.

Sejurus, seorang anak berpakaian putih dan rok merah dengan cekatan tangannya merapikan ikatan tali sepatu.

“Ma...ulun tulak sakulah (Bu...saya berangkat sekolah),” pamit si bocah kepada sang bunda yang sedang masak di dapur.

Ya, bocah itu bernama Nuramanah.

Dia salah satu dari 75 siswa dan siswi SDN Basirih 10.

Setelah bersalaman dengan sang ibu, dia menyusuri jalan kecil di depan rumuhnya menuju bantaran sungai.

Di pinggir sungai sudah ada temannya, Saidah Aisyah yang juga siswi SDN Basirih 10.

Tangan mungilnya langsung melepas ikatan tali jukung (perahu sampan dalam bahasa Banjar).

Keduanya bersama-sama mengayuhkan dayungnya menyusuri sungai menuju sekolahnya yang memerlukan waktu sekitar 15 menit.

Naik jukung menjadi kegiatan yang akrab baginya.

Bahkan jukung satu-satunya alat transportasi untuk menuju dan pulang sekolah.
Karena hingga kini belum ada akses jalan darat untuk menuju tempat belajar tersebut.

"Kalau arusnya deras, mendayungnya harus kencang. Kalau tidak kencang, kami bisa terbawa arus," ucap Nuramanah.

Begitu halnya puluhan siswa lainnya.

Meski sebagian diantar orangtunya, semua yang sekolah di SDN Basirih 10 menggunakan kelotok.

Tak heran di dekat sekolahan itu berjajar rapi belasan kelotok yang menjadi transportasi para siswa dan guru.

Kepala SDN Basirih 10 Banjarmasin, Yuseri mengatakan lokasi sekolah yang dia pimpin sangat unik karena harus menggunakan transportasi air.

Kondisi tersebut justru menjadi penyemangat dirinya dan para guru serta siswa lain, sebagai generasi pelestari budaya sungai.

Yuseri pun menceritakan suka duka perjalanan menuju SDN Basirih 10 Banjarmasin, apalagi saat alam yang tidak bisa bersahabt, entah itu air dangkal atau hujan lebat tiba-tiba mengguyur mereka saat di Jalan.

“Kalau hujan itu menjadi kekhawatiran kamu, karena ketika sedang diatas kelotok, kemudian hujan mengguyur, habislah sudah dan kami tidak bisa apa-apa, akhirnya basah semua,” ceritanya.

Termasuk mengenai kegiatan belajar mengajar juga tidak bisa disamakan dengan sekolah lain.

Artinya, lebih terpengaruh dengan pasang surut air sungai. Jika tidak demikian, pihaknya dan para siswa bisa tidak pulang ke rumah.

Artinya, pada bulan-bulan tertentu jam belajar sangat singkat karena harus buru-buru pulang sebelum air surut. (BANJARMASINPOST.co.id/tim)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved