Maulid Nabi Muhammad SAW

Maulid Nabi Muhammad, Begini Ajaran Toleransi Nabi yang Harus Diterapkan

Nabi Muhammad adalah contoh teladan yang baik bagi seluruh umat Islam.

Penulis: Yayu Fathilal | Editor: Ernawati
BANJARMASINPOST.CO.ID/ISTI ROHAYANTI
Majelis Taklim Wal Maulid Alkhuluqul Hasan dengan penceramah Habib Ali Albaiti di Siring Pierre Tendean, Banjarmasin, Minggu (21/5/2017). 

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Nabi Muhammad adalah contoh teladan yang baik bagi seluruh umat Islam.

Menyambut tanggal kelahirannya atau maulid Nabi Muhammad SAW yang diperingati tiap 12 Rabiul Awal atau tahun ini bertepatan besok, Jumat (1/12/2017), tak ada salahnya jika kita mencari tahu seperti apa sosok keteladanannya.

Sekarang ini zaman media sosial, sering terjadi perundungan atau bullying secara verbal di media social berupa ujaran kebencian yang bernuansa suku, ras dan agama.

Hal ini berpotensi membuat perpecahan di antara masyarakat Indonesia.

Indonesia selama ini menjunjung tinggi nilai kebersamaan, persatuan dan toleransi antarumat beragama.

Sekarang, tak ada salahnya kita menilik sebentar seperti apa contoh sikap toleransi antarumat beragama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.

Ustadz Adi Hidayat dalam sebuah video ceramahnya di YouTube mengatakan Islam mengajarkan toleransi terhadap umat nonmuslim yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad.

Ajarannya sangat indah dan tegas.

Pernah suatu hari Nabi Muhammad didatangi orang nonmuslim yang dating dengan sangat sopan, baik dan kata-katanya manis.

Ternyata dia ada maksud berbuat seperti itu, yaitu intinya ingin mengajak Nabi Muhammad dan dia saling menyembah tuhan masing-masing.

“Orang itu mengatakan kita berbeda. Artinya, agamanya dan agama Nabi Muhammad berbeda, namun janganlah perbedaan itu menjadi pangkal perselisihan,” ujar Ustadz Adi Hidayat.

Dia melanjutkan, ternyata orang itu kemudian mengajak Nabi Muhammad untuk bergantian menyembah tuhan masing-masing sebagai bentuk saling menghargai.

“Wahai Muhammad, bagaimana kalau kita bergantian hari menyembah tuhan kita masing-masing? Hari ini aku menyembah tuhanmu lalu besok kamu yang menyembah tuhanku,” lanjut Ustadz Adi Hidayat.

Ajakan ini kemudian ditolak tegas oleh Nabi Muhammad.

Tak lama kemudian Allah menurunkan perintahnya dalam Surah Alkafirun, bagaimana seharusnya umat Islam bersikap dan bertoleransi terhadap orang-orang nonmuslim, khususnya dalam hal keyakinan.

“Di surah itu ada ayatnya yang berbunyi laa a’budu maa ta’buduun yang artinya aku tidak menyembah apa yang kalian sembah. Dalam tata Bahasa Arabnya, ayat ini menggunakan kata kerja bentuk dulu, sekarang dan nanti. Ada bentuk past, present dan continuous-nya. Itu artinya, ketegasan sikap berakidah umat Islam di sini berlaku selamanya, baik dulu, sekarang maupun nanti,” jelasnya.

Menariknya lagi, kata gantinya di sini menggunakan bentuk tunggal saya. Berarti, masing-masing kita harus menerapkan ketegasan ini.

“Kemudian ayat berikutnya berbunyi wa laa antum aabiduna ma akbud. Artinya secara kasar, kalian nggak perlu menyembah-nyembah apa yang saya sembah, demikian pula saya tak perlu repot ikut-ikutan menyembah apa yang kalian sembah. Lalu surah ini ditutup dengan ayat lakum diinukum waliya diin, artinya dalam urusan agama kita masing-masing saja, agamamu agamamu, agamaku agamaku. Aku nggak mengurusi atau ikut-ikutan agama kalian, kalian juga nggak perlu repot-repot mengurusi agamaku. Kira-kira begitulah tafsirannya,” jelasnya.

Dicontohkan pula, misalnya orang Islam mengucapkan selamat hari raya kepada umat nonmuslim, menurutnya Nabi Muhammad tidak pernah mencontohkan perbuatan itu.

Demikian pula dengan hal ikut membantu proses pelaksanaannya, ikut memakai atributnya, hal itu tak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad.

Toleransi yang diajarkan Nabi Muhammad adalah cukup dengan tidak melakukan hal-hal yang bisa mengganggu kelancaran proses ibadah umat nonmuslim.

“Untuk urusan keyakinan, kata Nabi Muhammad, kita masing-masing saja sesuai dengan perintah Allah tadi, kecuali dalam hal kemanusiaan. Misalnya, kita memasak lalu baunya sampai ke tetangga kita yang nonmuslim, ya harus kita bagi makanan itu. Kemudian di halaman kita tumbuh pohon buah yang batangnya condongnya ke halaman tetangga kita yang nonmuslim, buahnya berarti milik bersama, harus kita bagi-bagi,” jelasnya.

Simak videonya di bawah ini:

(banjarmasinpost.co.id/yayu fathilal)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved