Bom Meledak di Gereja Surabaya
Anggota Komisi I DPR RI Sebut Indonesia Tidak Miliki Sistem Baik Sikapi Teror
"Ini tidak hanya di Indonesia, melainkan juga polisi di seluruh penjuru dunia," kata anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Penulis: Ernawati | Editor: Ernawati
BANJARMASINPOST.CO.ID - Teror bom oleh teroris ISIS di Indonesia tak sekadar menimbulkan keprihatinan.
Teror bom beruntun yang saat ini mengobok-obok daerah Jawa Timur, juga membuat banyak pihak menyoroti sistem pertahanan keamanan di negeri ini.
Seperti yang disampaikan anggota Komisi I DPR RI, H Syaifullah Tamliha SPi MS.
Menurut Syaifullah, beruntunnya teror yang terjadi di Indonesia agar menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah khususnya aparat keamanan.
Baca: Jadwal Pengumuman Awal Puasa Ramadhan 2018, Insya Allah Bersamaan, Kamis 17 Mei 2018
Baca: Semifinal AFC Cup Persija Jakarta vs Home United : Jak Mania Serbu IG Home United Gara-gara Ini
Dia mengakui, akhir-akhir ini aksi teroris banyak diarahkan sasarannya adalah polisi.
"Ini tidak hanya di Indonesia, melainkan juga polisi di seluruh penjuru dunia," kata anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Bagaimanapun, tandasnya, teroris selalu berhadapan langsung dengan polisi yang bertugas sebagai penjaga keamanan masyarakat.
Untuk kasus teror di tempat ibadah maupun kantor atau fasilitas polisi, menurut Syaifullah, tampak betul polisi sepertinya polisi tunggang langgang mengghadapinya.
"Akibatnya, sebagian rakyat merasa bahwa negara tidak hadir saat-saat rakyat mengharapkan keamanan dan kenyamanan dalam beraktivitas," katanya.
Syaifullah yang duduk di Komisi DPR RI yang di antaranya membidangi Pertahanan Keamanan blak-blakan mengungkapkan, Indonesia tidak memiliki sistem yang baik dalam menyikapi teror.
Dia membandingkan dengan Amerika Serikat saat menghadapi teror bom yang terjadi di New York.
"Tentu kita masih ingat saat teroris menabarkkan pesawat ke gedung WTC di New York," kata Syaifullah.
Saat itu, sebut Syaifullah Tamliha, otoritas memastikan seluruh sambungan telepon dan listrik.
Dampaknya teroris tidak bisa berkomunikasi satu sama lainnya.
"Di negara kita, semua alat komunikasi seperti HP, internet dan lainnya tetap berfungsi dengan baik," ujarnya.
Revisi UU Terorisme
Akibatnya, sebut Syaifullah Tamliha, teroris mudah berkomunikasi satu dengan yang lain untuk melakukan aksi lanjutan di tempat lain dengan jaringannya.
Sebelumnya, Syaifullah Tamliha menyatakan mendorong anggota DPR untuk penyelesaian pembahasan revisi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Pemerintah sudah menyerahkan draft atau rancangan revisi. Saat ini pembahasannya di tingkat Pansus, yang terdiri dari Komisi I dan III," ujar anggota DPR RI Dapil Kalimantan Selatan ini.
Syaifullah mengungkapkan, pemerintah mengajukan rancangan revisi UU Terorisme tersebut di antaranya adanya poin penambahan berupa keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme.
Menurut Anggota Komisi I yang di antaranya membidangi pertahanan keamanan (Hankam) ini, ada 3 poin penting yang menjadi alasan mengapa TNI perlu dilibatkan dalam penangangan terorisme.
Pertama, sebut dia, dalam hal kelengkapan aparat, TNI memiliki struktur hingga ke desa yakni Babinsa.
"Sementara kepolisian hanya di tingkat kecamatan, dalam hal ini Polsek," ujarnya.
Bedasarkan ketentuan UU Terorisme yang ada, kata Syaifullah, Babinsa sifatnya hanya memberi informasi kepada Polsek.
Kedua, lanjut dia, dalam hal penanganan di lapangan, kita masih mengakui TNI lebih terlatih terutama di medan-medan sulit seperti hutan belantara.
Syaifullah mencontohkan kasus penanganan teroris Santoso yang berada di hutan Poso.
"Polisi juga memiliki kemampuan taktis lapangan dan medan berat, tapi memang kita akui sampai saat ini TNI yang memiliki kemampuan dan cukup terlatih di medan-medan sulit," kata Syaifullah.
Ketiga, lanjutnya lagi, dalam UU Terorisme yang ada sekarang polisi hanya bisa menangkap seorang terduga teroris apabila sudah terjadi tindak pidana.
"Sementara, apabila masih bersifat indikasi, maka polisi tidak dapat melakukan apa-apa kecuali hanya berupa pemantauan, pengawasan dan pengintaian," jelasnya.
"Nah, ini yang justru riskan menimbulkan korban, apakah itu korban harta atau bahkan nyawa. Karena sifatnya menunggu kejadian itu tadi," tandas Syaifullah.
Karena itulah, tegas Syaifullah, dirinya kembali mendesak agar pembahasan revisi UU Terorisme segera dituntaskan.
"Ayolah kawan-kawan, khususnya di Pansus, kita selesaikan revisi undang-undang ini agar bisa segera disahkan paling lambat pada masa sidang mendatang," tandasnya Syaifullah lagi.
(BANJARMASINPOST.co.id/ernawati)
