Pesona Warung Jablai di HST
Pejaga Warung Malam Cantik Ini Rela Mendapat Julukan Perempuan Jablai
Sebab, puncak pengujung ramai, mulai pukul 23.00 sampai pukul 03.00 Wita. Selain itu, meski mengantuk
Penulis: Hanani | Editor: Didik Triomarsidi
BANJARMASINPOST.CO.ID, BARABAI - Menjadi pelayan atau penunggu warung remang malam atau warung jablai, harus tahan begadang hingga pagi.
Sebab, puncak pengujung ramai mulai pukul 23.00 sampai pukul 03.00 Wita. Selain itu, meski mengantuk, harus bersikap ramah pada pengunjung, dan harus bersedia diajak ngobrol oleh siapapun. Begitu penuturan DZ yang berjualan di pinggir jalan raya Desa Haur Gading, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
DZ mengaku berusia 24 tahun. Sejak usia 19 tahun, dia sudah menikah dan punya seorang anak, tapi akhirnya bercerai.
Baca: Mi Instan, Telur Asin Plus Teh Dibandrol Rp 75 Ribu, Tapi Pengunjung Nggak Kapok!
Orang tuanya hidup pas-pasan, sehingga tak bisa menjadi tempat menumpang hidup, sehingga oleh ayahnya DZ puin diberi modal berjualan di warung malam.
Untuk sewa satu petak warung, dia mengaku membaya Rp 600 ribu per bulan. Seperti warung lainnya, di warung DZ pun menyediakan menu yang sama.
Baca: Jualannya Sih Biasa Saja, Tapi Penjaga Warungnya Cantik dan Menggoda
Teh, kopi, mie instan dan makanan ringan, dengan harga "khusus" atau lebih mahal.
"Modal saya harus tahan begadang. Jika melayani pengunjung dengan ramah, biasanya pengunjung tak peduli harga. Bahkan uang kembalian pun mereka relahan untuk saya," tutur DZ yang mengaku terpaksa mencari rezeki dengan warung malam tersebut, karena punya anak yang harus dia hidupi sendiri.
Baca: Live Trans TV dan Trans7! Ini Cara Nonton Live Streaming Piala Dunia 2018 Lewat HP
DZ menyadari, bekerja di warung malam, menciptakan imej negatif di masyarakat. Dia dan teman-teman seprofesinya bahkan harus rela dijuluki perempuan jablai.
"Saya tak peduli imej negatif itu, Niat saya hanya mencari nafkah. Karena rezekinya di sini, saya jalani saja," katanya.
(banjarmasinpost.co.id/hanani)