Berita Nasional

HUT Kemerdekaan, Ini Profil Pengibar Pertama Bendera17 Agustus 1945, Abdul Latief Keturunan Ken Arok

Sang Saka Merah Putih yang sekarang disubut bendera pusaka dikibarkan dengan gagahnya, menjadi saat yang krusial

Penulis: Yayu Fathilal | Editor: Didik Triomarsidi
dokumen
Abdul Latief Hendraningrat 

BANJARMASINPOST.CO.ID - Momen pengibaran bendera merah putih saat peringatan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus adalah saat penting.

Sang Saka Merah Putih yang sekarang disubut bendera pusaka dikibarkan dengan gagahnya, menjadi saat yang krusial sebagai pengingat perjuangan para pejuang bangsa ini memerdekakan Indonesia dari penjajahan.

Para pengibarnya pun biasanya akan menjadi sosok-sosok penting yang akan selalu dikenang.

Baca: Hasil Kualifikasi MotoGP Austria 2018 : Marquez Pole Position, Rossi Hanya Start ke-14

Tercatat dalam sejarah, pengibar pertama bendera Merah Putih saat proklamasi 17 Agustus 1945 ada dua orang, yakni Suhud Sastro Kusumo dan Abdul Latief Hendraningrat.

Sosok kedua, Abdul Latief Hendraningrat, dikutip dari Wikipedia adalah seorang tentara PETA.

Baca: Sebelum Pingsan di Panggung, Ternyata Via Vallen Sudah Tak Aktif Lagi di Media Sosial

Nama lengkapnya adalah Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat, lahir di Jakarta , 15 Februari 1911 dan meninggal di Jakarta, 14 Maret 1983 pada umur 72 tahun.

Pangkat terakhirnya adalah Brigadir Jenderal TNI (Purn.).

Baca: Tak Dipilih Jadi Cawapres, Mahfud MD Tegaskan Dirinya Masih Setia pada Jokowi

Saat peristiwa proklamasi itu, dia adalah seorang prajurit PETA berpangkat Sudanco (komandan Kompi) dan juga pengerek bendera Sang Saka Merah Putih dengan didampingi oleh Soehoed Sastro Koesoemo, seorang pemuda dari barisan pelopor pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.

Pada saat menjadi petugas upacara bendera pertama usai proklamasi kemerdekaan, Latief Hendraningrat memakai seragam tentara Jepang karena Latief merupakan anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang.

Sebelum masuk PETA, Latief Hendraningrat terlebih dulu bergiat di Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrenshoo) yang juga bentukan Jepang.

Pada saat PETA dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943, ia mendaftarkan diri dan diterima.

Pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Latief Hendraningrat termasuk golongan muda yang memicu terjadinya Kemerdekaan Indonesia.

Berasal dari siaran radio, kaum muda Indonesia mengetahui bahwa Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945.

Para pemuda menuntut Soekarno dan Hatta untuk mempercepat Kemerdekaan Indonesia, namun Soekarno menolak karena masih menantikan realisasi janji dari Jepang yang akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia dalam waktu dekat.

Para pemuda meminta kepada Latief Hendraningrat sebagai salah satu perwira PETA tertinggi di Jakarta untuk meyakinkan Soekarno-Hatta dan terjadilah apa yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945.

Pada saat itu, Latief Hendraningrat menjadi orang PETA yang paling bertanggungjawab atas keamanan Jakarta.

Ia menggantikan tugas atasannya, Kasman Singodimejo.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, anak-anak muda berdatangan menuju Lapangan Ikada (kini di area Monumen Nasional atau Monas).

Abdul Latief Hendraningrat
Abdul Latief Hendraningrat (dokumen)

Mereka mendengar bahwa di sana Soekarno-Hatta akan menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia, namun, sesampainya di Lapangan Ikada, tentara Jepang sudah siap dengan senjata lengkap.

Rupanya, deklarasi Kemerdekaan Republik Indonesia bukan dilakukan di Lapangan Ikada, melainkan di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat yang merupakan kediaman Soekarno.

Latief Hendraningrat tidak hanya mengamankan halaman depan rumah Soekarno yang akan digunakan sebagai lokasi proklamasi kemerdekaan, ia juga menempatkan beberapa prajurit PETA pilihannya untuk berjaga-jaga di sekitar jalan kereta api yang membujur di belakang rumah itu.

Baca: Timnas U-16 Indonesia Dapat Dua Gelar, Ini Daftar Peraih Penghargaan Piala AFF U-16 2018

Usai pembacaan teks proklamasi, Latief bertindak sebagai pengibar sang saka Merah Putih bersama Suhud Sastro Kusumo.

Pasukan PETA Latief bermarkas di bekas markas pasukan Kavaleri Belanda di Kampung Jaga Monyet, yang kini bernama jalan Suryopranoto di depan Harmoni.

Setelah bergabung dengan TNI, kariernya menanjak terus dan bahkan sempat menjadi Rektor IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) pada tahun 1964-1965.

Baca: Polisi Kejar Ayah Tak Bertanggung Jawab, Bayi Ditemukan Disemak Jadi Rebutan

Dalam masa pendudukan Jepang, Abdul Latief Hendraningrat giat dalam Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrenshoo), yang selanjutnya dia menjadi anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA).

Karier militer Latief Hendraningrat di PETA pun berjalan cukup mulus.

Hingga akhirnya PETA dibubarkan pada 18 Agustus 1945, pangkat terakhir Latief adalah chudancho (sudanco) alias komandan kompi, satu tingkat di bawah pangkat tertinggi untuk pribumi saat itu yakni daidanco atau komandan batalyon.

Dalam masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Abdul Latief Hendraningrat terlibat dalam berbagai pertempuran.

Kemudian menjabat komandan Komando Kota ketika Belanda menyerbu Yogyakarta (1948).

Kala itu, Yogyakarta sebagai ibukota RI menjadi area pertempuran yang paling genting.

Latief juga berhubungan sangat baik dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Ia juga ikut merumuskan taktik gerilya dan perencanaan Serangan Umum 1 Maret 1949.

Setelah penyerahan kedaulatan, Abdul Latief Hendraningrat mula-mula ditugaskan di Markas Besar Angkatan Darat, kemudian ditunjuk sebagai atase militer Rl untuk Filipina (1952), lalu dipindahkan ke Washington DC hingga tahun 1956.

Sekembalinya di Indonesia ia ditugaskan memimpin Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) yang kini menjadi (Seskoad).

Jabatannya setelah itu antara lain Rektor IKIP Jakarta (1965).

Pada tahun 1967 Hendraningrat memasuki masa pensiun dengan pangkat Brigadir Jenderal.

Sejak itu ia mencurahkan segala perhatian dan tenaganya bagi Yayasan Perguruan Rakyat dan organisasi Indonesia Muda.

Ia merupakan anak dari kakak R.A Siti Ngaisah yang merupakan istri Djojo Dirono, Bupati Lamongan yang memerintah pada tahun (1885-1937) sehingga ia juga memiliki darah dari Ken Arok, Jaka Tingkir dan Mangkunegara I.

Pantauan Banjarmasinpost.co.id, dalam sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta nasional beberapa tahun lalu, putra Abdul Latief, Citroseno Hendraningrat menceritakan mengapa almarhum ayahnya bisa ditunjuk sebagai pengerek bendera kala itu.

Dalam video YouTube yang diposting oleh Arif Wicaksono Hendraningrat pada 25 Agustus 2011, Citroseno mengatakan PETA kala itu menjadi salah satu pasukan pengaman di sekitar wilayah proklamasi berlangsung.

“Mengapa ayah saya bisa ditunjuk sebagai salah satu pengibar bendera, karena ayah saya perwira senior PETA yang ada di lokasi itu. Pangkatnya kala itu sudanco (komandan kompi) dan atasannya, Pak Kasman sedang ke Bandung. Jadi, karena beliau perwira yang paling senior di situ, maka dianggap lebih pantas untuk ikut mengerek bendera,” tuturnya. (banjarmasinpost.co.id/yayu fathilal)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved