B Focus Pesisir

Nasib Peladang Berpindah, Dilarang Membakar Lahan, tapi Tak Pernah Mendapat Perhatian

PADA 2009 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLG).

Editor: Eka Dinayanti
BPost Cetak

BANJARMASINPOST.CO.ID, KOTABARU - PADA 2009 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLG).

UU ini mengatur mengenai larangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi larangan melakukan pencemaran, memasukkan benda berbahaya dan beracun (B3), memasukkan limbah ke media lingkungan hidup, melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dan lain sebagainya.

Larangan-larangan itu, disertai sanksi sebagaimana diatur dalam pasal 103 bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 3 miliar.

Dasar lahir UU ini tentu bertujuan baik.

Baca: Mahfud MD Ungkap Fakta Luka yang Dialami Ratna Sarumpaet Pasca Dugaan Penganiayaan

Baca: Kiki The Potters Posting Foto Wanita Minum Racun Serangga, Ditujukan Untuk Nikita Mirzani?

Yakni salah satunya dilatarbelakangi bencana kabut asap yang sering melanda Indonesia.

Bahkan, sempat dikeluhkan negara tetangga.

Pasalnya, berdampak pada kesehatan dan ekonomi, yakni mengganggu penerbangan.

Namun siapa sangka, pelarangan itu membawa implikasi bagi petani. Khususnya peladang berpindah.

Seperti yang terjadi di Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.

Tepatnya di Desa Geronggang dan Desa Tamiyang Bakung, yang berada di Kecamatan Kelumpang Tengah.

Baca: Fakta Baru Video Mesum UIN Bandung, Pelaku Aktif Kegiatan Kampus, Mahasiswa Mengaku Malu

Baca: Rincian Formasi Instansi Favorit Pendaftaran CPNS 2018 via sscn.bkn.go.id, Pemprov Kalsel?

Semenjak tiga tahun terakhir pemerintah melakukan langkah pencegahan sangat agresif.

Setiap aktivitas pembakaran lahan dan hutan langsung dilakukan penindakan tegas.

Selama tiga tahun pula hal itu, membuat petani ladang berpindah di Geronggang dan Tamiyang Bakung ketakutan.

Tapi di sisi lain, mereka juga harus berhadapan dengan masalah perut.

Mereka ibaratnya makan buah simalakama.

Tidak membuka lahan berarti tidak bisa berladang, yang artinya tidak menghasilkan padi untuk dimakan.

Sementara jika membuka lahan yang memang hanya bisa dilakukan dengan cara dibakar, artinya akan berurusan dengan masalah hukum.

"Selama ini hanya merasakan dampak larangan. Tidak ada solusi pemerintah. Sementara daerah kami bukan rawa," kata Hamdan, satu petani Desa Geronggang.

Menurut Hamdan, seharusnya pemerintah memberikan toleransi ke petani ladang berpindah untuk membuka lahan dengan tidak membakar.

"Kan kondisinya bukan lahan gambut. Kalau membakar, asapnya paling lama dua jam sudah habis. Beda lahan gambut yang terus berasap," ungkap Hamdan.

Diakui Hamdan, adanya larangan membakar berdampak pada petani ladang berpindah seperti mereka, namun perhatian terhadap petani ladang berpindah sangat kurang, bahkan hampir tidak.

"Mana ada bantuan alat. Beda petani sawah. Sangat berharap ada solusi membuka lebih luas. Membuka lahan tetap membakar tidak bisa luas, itu pun kucing-kucingan. Karena takut," ucapnya.

Diungkapkannya, masyarakat di desanya mengalami kekurangan pangan dan terpaksa mengharap bantuan pemerintah daerah untuk memberikan jatah hidup.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotabaru sendiri telah mengalokasikan jatah hidup untuk warga di dua desa tersebut.

Apabila dianggap mengalami rawan pangan, bantuan beras diberikan Badan PenanggulanganBencana Daerah (BPBD) dan Dinas Ketahanan Pangan seperti disepakati dalam rapat dengan pendapat (hearing).

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved