Berita Regional

Mengenal Sosok Pendiri NU KH Bisri Syansuri yang Makamnya Dilangkahi Sandiaga Uno, Ini Kiprahnya

Mengenal Sosok Pendiri NU KH Bisri Syansuri yang Makamnya Dilangkahi Sandiaga Uno, Ini Kiprahnya

Editor: Restudia
tribunjabar.com/kolase
KH Bisri Syansuri 

Menikah

Ketika berada di Mekkah, KH Bisri Syansuri dijodohkan dengan adik perempuan Abdul Wahab, Nur Khodijah.

Niat Abdul Wahab disambut baik. Akhirnya Bisri mempersunting Nur Khodijah. Setelah menikah, KH Bisri Syansuri pun pulang ke Indonesia.

Sebenarnya, saat itu dia ingin pulang ke kampung halamannya di Tayu namun karena adanya permintaan dari keluarga Nur Khodijah, ia bersedia tinggal di Tambakberas, Jombang.

Dua tahun lamanya KH Bisri Syansuri tinggal di Tambakberas. Waktu yang cukup singkat itu dipergunakannya untuk membantu mertua di bidang pendidikan dan pertanian.

KH Bisri Syansuri juga belajar mendidik dan mengelola pesantren sebagai basis perjuangan.

Setelah dipandang cukup mapan oleh mertuanya, ia diberi sebidang tanah di desa Denanyar yang tak jauh dari Tambakberas untuk dikelola.

Di tanah itulah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang.

Dari pernikahan KH Bisri Syansuri dengan Nur Khodijah, keduanya dikaruniai sembilan orang anak.

Anak pertama mereka meninggal saat masih kecil. Adapun delapan lainnya, yaitu Ahmad Atoillah atau akrab disapa KH Ahmad Bisri, Muassomah, Muslihatun, Sholihah, Musyarofah, Sholihun, Ali Abd Aziz, dan Shohib.

Diketahui, Sholihah menikah dengan Kiai Wahid Hasyim yang kemudian dikaruniai putra bernama Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Asrama putra Pesantren Mambaul Ma'arif masa sekarang
Asrama putra Pesantren Mambaul Ma'arif masa sekarang (denanyar.or.id)

Membangun Pesantren

Asrama putra Pesantren Mambaul Ma'arif masa sekarang (denanyar.or.id)
Pada tahun 1917, KH Bisri Syansuri bersama istrinya mendirikan pesantren Mambaul Ma'rif di atas tanah milik pribadi di Denanyar, Jombang.

Kala itu KH Bisri Syansuri hanya menyediakan tempat untuk santri putra yang dianggap sangat vital untuk digembleng secara fisik.

Diketahui, pada masa itu, masyarakat setempat dianggap telah bobrok akhlaknya, kekejaman di mana-mana, moral para wanita menjadi rusak, wanita menjadi binal,dan tak mau menerima bimbingan ulama.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved