Berita Kabupaten Banjar

Mengapa Orang Gampang Membunuh? Dr Ocha: Cairan di Otaknya Begini

Ternyata ada sesuatu yang tak beres dengan cairan di otak di balik begitu gampangnya seseorang melakukan kejahatan brutal seperti membunuh orang lain

Penulis: BL Roynalendra N | Editor: Eka Dinayanti
DOKUMEN PRIBADI YANUAR SAROSA
dokter spesialis kedokteran jiwa, Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Sambang Lihum, dr Yanuar Satrio Sarosa SpKJ 

BANJARMASINPOST.CO.ID, MARTAPURA - Ternyata ada sesuatu yang tak beres dengan cairan di otak di balik begitu gampangnya seseorang melakukan kejahatan brutal seperti membunuh orang lain.

"Tindakan kekerasan secara berlebihan atau sadistis, secara biologis hal itu disebabkan berkurangnya serotonin," sebut dokter spesialis kedokteran jiwa, Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Sambang Lihum, dr Yanuar Satrio Sarosa SpKJ, Senin (03/12/2018).

Ketua Komite Medik RSJ Sambang Lihum ini menuturkan serotonin adalah cairan kimiawi di dalam otak yang fungsinya mengontrol emosi agar tak sedih atau cepat marah.

Apa penyebab berkurangnya cairan ini belum diketahui secara jelas.

Dikatakannnya, asupan makanan tertentu memang disebut-sebut mampu meningkatkan serotonin.

Seperti ketika mengonsumsi kacang-kacangan atau makan cokelat agar mood membaik, tapi kenyataannya juga tidak selalu begitu.

Baca: Cerita Bidan Susilawati Mencium Bau Aneh dan Merinding Saat Melewati Hutan Tolong Persalinan

Baca: Link 95 Instansi yang Telah Umumkan Hasil Tes SKD & Peserta SKB CPNS 2018, Cek Juga sscn.bkn.go.id

Baca: Lagi Nyari Pasangan Anak-anaknya, Ini Syarat Jadi Mantu Hotman Paris Hutapea, Kamu kah orangnya?

Baca: Heboh Pernikahan Crazy Rich Surabaya, Gaya Pernikahan Youtuber Suhay Salim Juga Disorot Karena Ini

Ini juga bergantung siap tidaknya otak untuk memproduksinya.

Di otak kadang terjadi metabolisme yang berlebih.

Jadi, meski produksi (serotonin)nya tinggi tapi kadarnya rendah secara relatif.

Itu sebabnya orang-orang yang depresi, yang identik dengan menurunnya cairan kimiawi otak, perlu meminum obat depresi untuk mengimbangi metabolieme yang berlebihan itu.

Seseorang ketika depresinya bertambah, maka akan berpikir pendek.
Secara biologis, juga ada keruskan di area petrontal yang letaknya sebelum dahi.

Ada bagian otak yang mengalami disfungsi.

Padahal perannya vital dalam pengambilan keputusan.

Hal yang terjadi kemudian adalah ketidakmampuan mengambil keputusan secara tepat ketika menghadapi masalah.

Contohnya, ketika ia disakiti orang, maka pikirannya pendek.

"Dia tidak bisa berpikir bagaimana efek ketika orang lain disakiti, yang ada di benak cuma keinginan untuk menyakiti seperti membunuh," sebut Ocha begitu dr Yanuar akrab disapa.

Pada otak juga ada struktur amygdalam.

Pada orang-orang yang depresi, strukturnya membesar.

Jadi gayung bersambut dengan menurunnya serotonin sehingga makin tak mampu mengontrol emosi.

Ocha mengatakan ari aspek psikologis, perilaku kekerasan merupakan kegagalan menginternalisasi sikap dalam kehidupan.

Ada degradasi moral dari perilaku kekerasan yang pernah dialami.

Ia tak mampu menjadikan hal itu sebagai pelajaran agar gak terulang.

"Nah, bagi orang-orang seperri itu, membunuh adalah upaya penyelesaian taktis. Dia tak bisa memfilter nilai susila, kesopanan, moral, agama, dan adat istiadat. Hal itu tak bisa ia integtaskkan di dalam otak," tandasnya.

Sedangkan dari aspek sosiokultural, perilaku seperti itu akibat mengristalnya nativistik, semua dinilai dengan materi dan prestasi

Kemenangan adalah segalanya.

Materi adalah indikator kesuksesan.

Siapa yang menang dia lah yang hebat, bukan siapa yang bermoral.

Mengedepankan kebanggaan terhadap diri tersebut memacu seseorang bisa langsung berbuat di luar batas ketika sedikit saja tersakiti. Apa pun bisa dilakukan demi harga diri.

Itu sebabnya banyak kasus pembunuhan yang saya baca, motifnya adalah sakit hati bukan karena hartanya yang dicuri.

Ia akan naik pitam yang teramat sangat ketika diejek atau diolok-olok.

Membunuh adalah pilihan jangka pendeknya dan bahkan kalau perlu dilakukan secara bengis agar mendapat kepuasan.

Lalu, dari tinjauan spiritual, penyebab perilaku brutal diakibatkan lunturnya nilai-nilai kehidupan.

Bisa saja orang tampak religius, tapi tidak spiritualnya.

Syariat agama dijalankan semua, tapi belum tentu nilai spiritual melekat dalam dirinya.

Dalam hal ini, memang ada peran media terutama media sosial (medsos).

Era gawai (gadget) saat ini kian memunculkan fenomena copycat yakni meniru yang dilihat.

Termasuk ketika melihat kasus pembunuhan.

Dia tidak lagi mengambil pelajaran dari kasus kekerasan yang dilihat.

Sebaliknya, justu menginspirasinya untuk melakukan hal serupa ketika tersakiti.

Ia akan meniru tindakan kekerasan tersebut.

Secara fisik, kata Ocha, memang sulit mengenali orang-orang yang berperilaku menyimpang seperti itu.

Namun, kita bisa mendeteksinya melaui observasi atau pengenalan.

Ketika kita telah mengenal perilaku tersebut, sebaiknya meminimalkan kontak fisik.

Berteman boleh, tapi cukup sekadarnya, say hallo saja.

Jangan perdalam interaksi, apalagi hubungan yang dalam seperti percintaan karena itu berbahaya.

"Juga jangan melibatkan orang-orang seperti itu dalam kegiatan. Karena mereka berorientasi omnipotensi atau ingin menjadi pusat segalanya. Orang lain yang tak nurut atau tak sependapat akan membuatnya marah besar dan kemudian berpikir pendek untuk menghabisi atau membunuh," pungkas Ocha.

(banjarmasinpost.co.id/roy)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved