Wawancara Ekslusive

Dosen UI Effendi Ghazali : Ratusan Anggota PPS Pemilu 2019 Meninggal, Saya Siap Dituntut

Effendi Ghazali katakan siap untuk dituntut secara pidana apabila memang pihaknya mempunyai tanggung jawab terkait meninggalnya anggota KPPS

Editor: Elpianur Achmad
banjarmasinpost.co.id/nana
Anggota KPPS melakukan sumpah tugas 

BANJARMASINPOST.CO.ID - PEMILU 2019 yang menggabungkan pemilu legislatif dan pemilihan presiden dituding sebagai penyebab meninggalnya 440 orang anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).

Pemilu serentak tersebut merupakan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) setelah menerima permohonan judial review (uji materiil) Undang-undang No 42 Tahun 2008 tentang Pememilihan Umum, yang diajukan Effendi Ghazali, dosen Universitas Indonesia, dan kawan-kawannya. Berdasarkan putusan MK pada 23 Januari 2014, pemilu serentak dilaksanakan 2019.

Effendi Ghazali mengatakan dirinya siap untuk dituntut secara pidana apabila memang pihaknya mempunyai tanggung jawab terkait meninggalnya anggota KPPS.

“Kalau memang kami sebagai pengaju yang bertanggung jawab, kami siap, termasuk kalau mau dipidanakan. Jangan jadi pengecut,” jelas Effendi dalam wawancara dengan Tribun Network, Kamis (2/5/2019).

Baca: Dalam Sehari, Dua Petugas KPPS Kecamatan Ngabang Meninggal Dunia, 3 Hari Dirawat di RS

Baca: TERUS BERJATUHAN, Anggota KPPS Meninggal Bertambah Jadi 331, Sakit 2.232 & 2.563 Kena Musibah

Ia bahkan, meminta kepada keluarga anggota KPPS yang meninggal, mahasiswa, serta para aktivis untuk menuntut kejadian itu.

Alasannya, supaya bisa diketahui pihak yang paling bertanggung jawab dan tidak terjadi pembiaran. Berikut petikan wawancara dengan Effendi Ghazali;

Apa sebenarnya alasan Anda mengajukan permohonan ke MK agar pemilu dilakukan secara serentak?
Pada awalnya, kami maju bersama satu tim yang sangat kuat. Ada profesor ahli juga, yaitu Saldi Isra, yang sekarang hakim MK, ada Irman Putera Sidin ahli hukum tata negara, ada Didik Supriyanto dari Perludem dan Hamdi Muluk dari psikologi politik.

Ada saksi fakta, Ketua ad hoc MPR Slamet Effendi Yusuf. Kami membaca kehendak asli konstitusi kita, pemilu itu memang harus serentak. Akhirnya, kami baca-baca ketemu itu pasal yang tidak pernah berubah.

Pasangan presiden dan wakil presiden dipilih oleh partai politik atau gabungan partai politik. Jadi, dibuka kesempatan oleh pendiri bangsa untuk mengajukan pasangan calon, boleh dari satu partai dan gabungan partai. Itu kami pentingkan.

Media sosial menjadi satu di antaranya? Mengingat Anda sering berbicara soal itu.
Kami tahu itu karena akan masuk era media sosial. Media sosial itu sangat brutal, kalau presidential threshold ini ada, seakan-akan ini 100 dibagi 20, maka dapat lima pasangan calon.

Kami sudah baca nanti jadinya dua nih. Eh benar kan jadinya yaitu Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Ini akan masuk ke mulut menganga perusak peradaban, yang namanya media sosial.

Baca: Petugas KPPS Terus Berjatuhan, Jumlah Meninggal Dunia Mencapai 272, Terbaru Terjadi di Makassar

Baca: Satu Anggota KPPS di Basirih Meninggal dan Sakit, Ini yang Dilakukan Komisioner KPU

Bangsa ini terbelah menjadi dua pada 2014. Bertambah lagi di Pilkada Serentak 2017.

Pada 2019, seakan membuka lagi keterbelahan di 2014. Hoaks (berita palsu) makin menjadi-jadi, pencemaran, dan lain-lain. Akibatnya, kita kehilangan peradaban dan tidak bisa duduk bareng.

Setelah banyak kejadian meninggalnya anggota KPPS, apakah akan ada tekanan ke parlemen hasil Pemilu 2019 mendatang?
Setiap kali saya melihat di televisi ada anggota KPPS yang meninggal dunia, saya sangat sedih sekali. Saya turut berduka cita. Tapi, setiap kali saya melihat ini, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.

Di mana fungsi DPR? Di mana fungsi civil society? Jadi, begitu dikabulkan MK, MK tidak dapat membuat undang-undang. Undang-undang dibuat oleh DPR dan dijalankan oleh KPU.

Nah, DPR ini pergi ke luar negeri pakai uang rakyat. Ke mana-mana, tapi tidak menemukan indikasi sedikitpun kalau ini akan bahaya, akan ada orang yang meninggal segini besar.

DPR jangan jadi pura-pura menjadi penyelamat di sini. Satu di antara biang persoalan itu DPR juga. Saya disalahkan? Siap. Tapi DPR kan melakukan studi banding ke berbagai negara, masak tidak bisa menemukan usulan?

Misalnya, ini tidak bisa begini, tidak bisa begini. Harusnya begini. Atau misal DPR kan bisa bilang, “Ayo kita e-voting,” kan bisa. Jangan semua dicurigai. India bisa, Amerika bisa.

Presiden bilang pelaksanaan pemilu di Indonesia dipuji 22 negara. Di bagian mana dipujinya? Oleh karena itu, mungkin ini jalan keluarnya, kita buat seminar nasional. Diikuti semua orang pintar di Indonesia, kita diskusi.

Baca: 30 Mahasiswa Nyoblos Tanpa A5, Anggota KPPS Dipecat, Takut Ada Pengerahan Mahasiswa

Baca: Diduga Kelelahan Begadang, Anggota KPPS Desa Muning HSS Meninggal Dunia

Mengenai ratusan anggota KPPS meninggal dunia, apada tanggapan Anda?
Saya sangat berduka kepada keluarga yang telah ditinggalkan. Tanpa mengurangi segala hormat, KPU juga telah melakukan simulasi di 300 TPS lebih dan tidak menemukan sedikitpun gejala kelelahan.

Tapi, kok tiba-tiba pada hari H banyak yang meninggal? Sampai Ketua KPPS Sleman gantung diri? Tekanan apa yang didapatkan saat hari H yang berbeda dengan simulasi?

Kok Anda tidak bisa deteksi?

Kalau dijumlah semuanya 5.693.450 orang anggota KPPS. Perlu juga kita tanyakan kepada yang sehat. Apakah mereka menjaga kesehatan secara baik, zikirnya baik, tidak terpengaruh pesan-pesan, atau apa?

Saya malah minta kepada mahasiswa, aktivis, dan keluarga korban, ayo tuntut siapa yang bertanggungjawab soal ini. Kalau saya harus ikut diseret dan diperiksa, atau ada hukumannya, saya siap.

Siap dipidana?
Jangan jadi ilmuwan pengecut, jangan jadi ilmuwan curang, ayo pertanggungjawabkan. Walaupun kami, di kantor MK sudah bilang, ini pasti kacau.

Refly Harun juga sudah bilang ini akan jadi pemilu terburuk. Harusnya, kalau MK dengar, MK bisa panggil kami. Kalau memang kami sebagai pengaju yang bertanggung jawab, kami siap, mau dipidana kek. Jangan jadi pengecut.

Ada usulan untuk pembenahan?
Pertama, parlementary threshold dinaikkan sampai 10 persen. Partai yang tersisa hanya tiga saja paling, tetapi presidential threshold harus nol persen.

Buat apa?

Supaya anak bangsa yang baik dan pintar ini tetap bisa terpilih. Kedua, keserentakannya hanya di pencalonan, sedang pelaksanaan pemilu tetap seperti dulu. Pileg dulu baru pilpres. Sehingga tidak ada lagi oligarki kekuasaan, oligarki partai yang bermain. (ryo)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved