Berita Dunia

Tergoda Dinikahi Pria China, Monika Dijual Hingga Alami Kekerasan, Kabur Setelah Kuasai Bahasa China

Monika menerima uang sebesar Rp 17 juta untuk menikahi pria China berusia 28 tahun.

Editor: Hari Widodo
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama.(NOVA WAHYUDI)
Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobby Anwar Maarif (kanan) bersama Ketua DPC SBMI Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar) Mahadir (kiri), Pengacara Publik LBH Jakarta Oki Wiratama (kedua kanan) dan korban kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Monica (kedua kiri) menjawab pertanyaan wartawan saat konferensi pers, di Jakarta, Sabtu (23/6/2019). LBH Jakarta bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran mengatakan sebanyak 13 perempuan asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan 16 perempuan asal Jawa Barat menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus perkawinan (pengantin pesanan). 

Sebagai maskawin, Monika menerima uang tunai Rp 18 juta dengan Rp 1 juta menjadi hak si perantara. 
Sepekan setelah prosesi sederhana itu, Monika sudah dalam pesawat terbang menuju ke China.

Monika mengatakan, meski dia sudah meneken dokumen, dia berpikir mereka baru bertunangan dan pernikahan akan menyusul setibanya dia di China.

Namun, saat tiba di China, Monika langsung dibawa ke kediaman keluarga sang pria. Saat itulah dia menyadari telah menjadi korban penipuan.

Penghasilan sebulan sang suami tak mencapai Rp 10 juta seperti yang dijanjikan sang perantara.

 Penghasilan sang suami tak menentu karena dia bekerja sebagai tukang di proyek-proyek pembangunan.

Setiap hari mulai pukul 07.00 hingga 19.00, Monika harus membuat bunga kertas untuk dijual sang ibu mertua.

Meski sudah ikut membantu, tak jarang Monika kerap dihukum tak mendapat makanan dan dia juga tak diizinkan mengakses internet.

Akibatnya, Monika sepenuhnya terputus dari keluarga dan teman-temannya di Indonesia.

"Ibu mertua saya amat menakutkan. Saya masih trauma jika memikirkan dia. Melihat dia dari jauh saja sudah cukup membuat saya ketakutan," ujar Monika.

Meski dilarang mengakses internet, Monika selalu mencuri waktu menggunakan internet terutama untuk belajar sedikit bahasa Mandarin.

Setelah menguasai beberapa kosa kata dan mempelajari cara menuju ke kantor polisi, Monika kemudian menggunakan taksi untuk menuju ke markas kepolisian setempat.

Di sana dia menceritakan semua masalahnya dan polisi kemudian meminjamkan telepon untuk menghubungi kedutaan besar Indonesia di Beijing.

Pada Sabtu akhir pekan lalu, Monika tiba kembali di Jakarta setelah 10 bulan masa yang penuh derita itu.

"Saya lega tidak memiliki anak dengan dia. Apa yang terjadi dengan anak-anak saya jika ayah mereka suka memukul ibunya dan memiliki nenek yang kejam?" kata Monika.

 "Saya amat tertekan selama hidup di China sehingga nyaris gila. Saya menangis tiap malam. Kini saya hanya ingin bekerja agar adik-adik saya bisa sekolah," dia menegaskan.

Sumber: TribunStyle.com
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved