Berita Regional

'Kena Kutukan' hingga 8 Anaknya Meninggal, Keluarga Ini Nekat Tinggal dalam Hutan Selama 53 Tahun

Sejak tahun 1966 keluarga Dakup di Pekalongan, Jawa Tengah memutuskan menetap di tengah hutan untuk menjauhi kutukan yang diyakini oleh mereka.

Editor: Didik Triomarsidi
Tribun Jateng
Semi dan Untung saat ditemui Tribunjateng.com di rumahnya, Rabu (10/7/2019). 

BANJARMASINPOST.CO.ID, PEKALONGAN - Sejak tahun 1966 keluarga Dakup di Pekalongan, Jawa Tengah memutuskan menetap di tengah hutan untuk menjauhi kutukan yang diyakini oleh mereka.

Lokasi tempat tinggal keluarga tersebut terletak di tengah hutan pinus yang memiliki medan berat dan berjarak sekitar 12 kilometer dari pusat Kecamatan Paninggaran.

Selain itu masih banyak hewan liar di lingkungan tempat tinggal mereka, seperti babi hutan dan kera.

Sebelumnya keluarga itu tinggal di Dukuh Sigintung, Desa Tuwareh Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan.

Mereka memilih pindah karena merasa terkena kutukan setelah satu per satu anak dari keluarga tersebut meninggal dunia.

Baca: BERITA VIRAL Daftar Menu Kelas Bisnis Garuda Rute Sidney-Denpasar Hanya Tulis Tangan, Ini Faktanya

53 tahun kemudian tepatnya tahun 2019, anak keturunan keluarga Dakup tetap memilih tinggal di tengah hutan dan tak ingin pindah dari lokasi mereka tinggal.

Bahkan saat ini ada 6 tempt tingal sederhana yang telah dibangun di lokasi tersebut.

Untung (77) sang kepala keluarga, menjelaskan bahwa almarhum ayah mertuanya sengaja pindah ke tengah hutan karena anaknya meninggal satu persatu.

“Mertua saya pindah ke sini sekitar tahun 1966. Hingga kini saya bersama istri menetap karena lokasinya damai,” tuturnya kepada Tribunjateng.com, Rabu (10/7/2019).

Baca: Link Live Streaming Barito Putera vs Bali United Liga 1 2019 di Indosiar Malam Ini, Cek di Vidio.com

Dia melanjutkan, ayah mertuanya meninggal pada 1980-an dikarenakan sakit yang tidak ia ketahui jenisnya.

“Ayah dan ibu mertua saya meninggal karena sakit tapi saya tidak tahu mereka sakit apa,” paparnya.

Sang istri, Semi (75) menerangkan bahwa orangtuanya sengaja membawanya ke tengah hutan karena dihantui penyakit aneh setelah anaknya satu persatu meninggal.

Menurut Semi orangtuanya memiliki 10 anak dan ia memiliki 8 orang kakak yang setiap tahun meninggal satu per satu.

Baca: 11 Jenderal Polisi Daftar Capim KPK, Saut Situmorang : Kita Tak Boleh Melarang Siapapun Mendaftar

“Seperti terkena kutukan kata ayah saya karena kakak saya selalu meninggal. Kakak saya ada 8 dan setiap tahun meninggal satu per satu. Hanya tersisa dua, termasuk saya,” jelasnya.

Semi mengatakan bahwa sang ayah memilih tinggal di tengah hutan untuk menghindari kutukan karena kejadian tersebut.

“Hingga ayah dan ibu saya meninggal , saya dan suami masih menetap. Kini kami punya dua anak serta tujuh cucu,” ujar Semi.

Jedot, salah satu warga sekitar yang pernah menjadi petugas Puskesmas Kecamatan Paninggaran dan bertugas dari tahun 1984 hingga 1987 mengaku sangat akrab dengan keluarga Semi.

“Sewaktu bertugas, dulu saya menemukan keluarga yang tinggal di tengah hutan. Hingga kini mereka masih bertahan,” kata Jedot saat mengantar Tribunjateng.com ke kediaman keluarga Semi.

Menurutnya, ayah Semi yang bernama Dakup menderita kusta dan beberapa jarinya terputus karena penyakit tersebut.

“Waktu itu sekitar tahun 1984 saya datang ke rumah milik ayah Semi. Dia selalu mengeluh akan penyakitnya.Selain terkena kusta, ayah Semi juga menceritakan bahwa keluarganya terkena kutukan. Maka dari itu ia menetap di tengah hutan,” tutur Jedot.

Setelah kunjungan pertama ke rumah keluarga Semi, Jedot rutin berkunjung karena prihatin melihat kondisi keluarga tersebut.

Bahkan hingga Dakup meninggal Jedot masih berkunjung.

“Kini kondisinya sudah lumayan baik karena air dan listrik sudah masuk walau lokasi tempat tinggalnya berada di tengah hutan. Kini ada delapan rumah ABG dibangun di sekitar rumah Semi,” tambahnya.

Berita ini juga ada di KOMPAS.COM

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved