Berita Banjarbaru
BPJS Kesehatan Naik, Begini Pandangan Dosen Fakultas Kedokteran ULM Ini
Dosen Fakultas Kedokteran ULM dr. Iwan Aflanie M. Kes, Sp.F, SH berpendapat Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diberlakukan per 1 Januari 2020
Penulis: Nia Kurniawan | Editor: Hari Widodo
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Dosen Fakultas Kedokteran ULM dr. Iwan Aflanie M. Kes, Sp.F, SH berpendapat Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diberlakukan per 1 Januari 2020, tentunya akan memunculkan perbedaan pendapat.
Beberapa pihak setuju namun tidak sedikit yang menolak dan tidak setuju. Apakah kenaikan iuran BPJS benar-benar diperlukan ?
Mantan Ketua IDI Cabang Banjarmasin, mengatakan Ada beberapa pertanyaan lanjutan yang tentunya “menggelitik” untuk ditanyakan oleh banyak orang. Kenapa Iuran BPJS harus naik, apakah kenaikan iuran tersebut akan menguntungkan semua pihak,? Apakah kenaikan iuran akan diiringi dengan peningkatan mutu layanan kesehatan, apakah ada alternatif lain yang lebih baik.
? Boleh jadi masih banyak pertanyaan lain yang akan muncul mengiringi dan menghantarkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut.
Dia mengatakan Lazimnya kita semua sudah memahami bahwa sistem pertanggungan kesehatan dalam JKN yang dikelola oleh BPJS bukanlah sistem asuransi.
Baca: Sosok Mahasiswa S2 ITB Muhtar Amin Tewas Bunuh Diri, IPK Nyaris 4, Kecerdasan Diakui Wakil Rektor
Baca: KaltengPedia : Sungai Kahayan Jadi Jalur Pengiriman Barang dan Sembako dari Kalsel ke Kalteng
Baca: Jadwal Turnamen Badminton BWF World Tour September 2019 Termasuk China Open 2019, Anthony Ginting?
Baca: Utak-atik Kans Persib Bandung untuk Jadi Juara Liga 1 2019 atau Ulang Prestasi Musim Lalu?
Dalam sistem asuransi ada pertimbangan dan perhitungan yang sangat cermat pada proses rekrutmen kepesertaan, seseorang yang lebih tua dan telah menderita penyakit tertentu akan dibebani premi yang lebih besar dari seorang yang muda dan tidak mengindap penyakit.
Dari sini kita sudah bisa melihat perbedaan “ruh” sistem asuransi kesehatan dengan BPJS. Dari awal nampaknya sistem JKN yang dijalankan oleh BPJS tidak memperhitungkan untung dan rugi, namun mengedepankan keinginan agar seluruh rakyat Indonesia dapat mengenyam pelayanan kesehatan yang baik (universal coverage).
Bahkan dengan berseloroh ia pernah mengatakan kepada seorang teman bahwa BPJS Kesehatan memang didesain untuk rugi dan harus terus mendapat subsidi dari pemerintah.
Kenapa iuran BPJS harus naik ? Boleh jadi banyak alasan yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang terkait. Namun ia berpendapat; “motif” untuk mengatasi dan menutupi kerugian adalah alasan yang utama.
"Perihal BPJS yang merugi bukanlah cerita baru, bahkan terus berlanjut hingga saat ini. Asisten deputi direksi bidang pengelolaan faskes rujukan BPJS Kesehatan, Beno Herman menyatakan hingga akhir tahun 2019 defisit yang dialami BPJS Kesehatan kemungkinan mencapai hingga 28 triliun rupiah. Sebuah angka yang fantastis. Tentunya harus dicari hal yang menjadi akar permasalahan yang menyebabkan BPJS Kesehatan merugi," ucap Anggota MKEK IDI Kalsel dan Anggota TKMKB BPJS Kalsel ini.
Benarkah rendahnya iuran BPJS adalah penyebab meruginya BPJS ? Menurutnya ada benarnya. Sebelum kita melakukan telaahan lebih lanjut tentang korelasi rendahnya iuran dengan kerugian BPJS Kesehatan, mari kita mengingat kembali jenis-jenis kepesertaan BPJS Kesehatan.
1. BPJS-BPI (Penerima Bantuan Iuran)
Program ini hanya berlaku untuk warga miskin dan tidak mampu. Peserta BPJS-BPI berhak memperoleh BPJS kelas 3.
Jika peserta BPJS pada umumnya diwajibkan membayar iuran, pada jenis kepesertaan BPJS Kesehatan ini peserta tidak dibebani biaya bulanan dan semua biaya ditanggung pemerintah.
2. BPJS-Non-PBI (Bukan Penerima Bantuan Iuran)
Jenis kepesertaan BPJS Kesehatan mewajibkan pembayaran iuran kepada peserta (mandiri).
BPJS-Non PBI terbagi menjadi tiga, yaitu:
1) Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Anggota Keluarganya, termasuk di dalamnya PNS, anggota TNI/Polri dan karyawan perusahaan.
2) Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan anggota keluarganya, termasuk dalam kelompok ini adalah para pekerja mandiri dan WNA yang sudah tinggal sedikitnya 6 bulan di Indonesia.
3) Bukan Pekerja (BP) yang masuk dalam kategori Bukan Pekerja adalah investor, pensiunan, janda/duda beserta anak yatim penerima pensiunan, veteran perang, pekerja WNA yang bekerja minimal 6 bulan.
Bila mencermati dan membandingkan besaran iuran dengan manfaat yang didapat oleh peserta BPJS Kesehatan, kita tentunya dengan mudah menemukan adanya ”ketimpangan”.
Menggunakan istilah ketimpangan karena memang demikian adanya, sebagai ilustrasi seorang peserta BPJS Kesehatan kelas 3 dengan iuran Rp. 25.500,- bisa mendapatkan pelayanan cuci darah yang tarifnya puluhan kali lipat dari besaran iuran.
Dari sudut pandang peserta/pasien ini merupakan keuntungan namun dari sudur pandang BPJS hal ini adalah “kerugian”, ibarat pepatah besar pasak daripada tiang. Ini merupakan ”ketimpangan” namun merupakan fenomena yang diharapkan. Jadi BPJS merugi adalah sebuah keniscayaan.
Dengan azas gotong royong “ketimpangan” ini bisa tertutupi atau setidaknya tidak terlalu merugikan, karena kerugian BPJS adalah kerugian negara. Dalam konteks ini wacana kenaikan tarif atau lebih tepatnya penyesuaian tarif adalah sesuatu yang masuk akal.
Harus dicermati bahwa rendahnya iuran BPJS Kesehatan bukanlah satu-satunya variabel yang menyebabkan BPJS merugi, masih banyak faktor yang harus dikendalikan. Tunggakan iuran peserta dan fraud (kecurangan) yang mewarnai perjalanan JKN juga patut diperhitungkan.
Fraud adalah suatu fenomena yang selalu menarik untuk diperbincangkan karena kecurangan bisa dilakukan oleh siapa saja.
Dalam konteks BPJS Kesehatan kecurangan dapat dilakukan oleh peserta, pengelola maupun provider kesehatan. Bentuk kecurangan dari peserta bisa berupa tidak membayar iuran, masuk jadi anggota BPJS ketika sakit lalu keluar dari keanggotaan setelah mendapat pelayanan kesehatan dan sembuh.
Salah satu bentuk kecurangan pengelola bisa muncul dalam bentuk ketidaktransparanan dan pembuatan regulasi yang sepihak.
Kecurangan provider kesehatan bisa terjadi dalam bentuk up coding (mengubah diagnosis sebenarnya menjadi diagnosis yang tarifnya lebih tinggi) dan Inflated Bills (penggelembungan tagihan obat dan alkes). Tentunya masih banyak model fraud yang mengancam pelaksanaan JKN.
Baca: Poster Jembatan Rumpiang, Nanas dan Padi Anjir Bikin Nanang Rudian Harumkan SMPN 4 Alalak Batola
Baca: Kulit Kayu Halaban Dipercaya untuk Sembuhkan Panyakit Amandel
Baca: Kebutuhan Air Sehari 86 Ton, RS Andi Abdurrahman Noor Tanahbumbu Alami Krisis Air Bersih
Pada titik ini mungkinkita bisa bersepakat bahwa penyelesaian masalah defisit BPJS bukan hanya masalah penyesuaian tarif.
Berkaca dari kondisi saat ini, bagi masyarakat penyesuaian tarif dalam bentuk kenaikan iuran pastilah terasa memberatkan. Namun dari sudut pandang BPJS dan pemerintah penyesuaian tarif boleh jadi menjadi sesuatu yang sangat penting untuk mengatasi potensi defisit lebih lanjut yang semakin mengancam keuangan negara.
Tentunya harus ada konsep “win-win solution” dalam menghadapi dilema ini. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan harus disertai dengan peningkatan mutu layanan kesehatan bagi segenap rakyat Indonesia.
Masih ada pertanyaan yang tersisa, apakah kenaikan tarif harus 100% dan apakah harus diberlakukan saat ini, nampaknya diskusi masih akan terus berlanjut.
(banjarmasinpost.co.id/niakurniawan)
