Bolehkah Orang Positif Virus Corona Ikut Salat Jumat? Ini Penjelasan Terkait Fatwa MUI Soal Covid-19
Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia ( MUI) mengeluarkan fatwa terkait ibadah salat jumat di tengah wabah Virus Corona ( Covid-19).
BANJARMASINPOST.CO.ID - Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia ( MUI) mengeluarkan fatwa terkait ibadah salat jumat di tengah wabah Virus Corona ( Covid-19).
Ketua Dewan Fatwa MUI Hasanuddin mengatakan, MUI merilis fatwa bahwa setiap umat Islam yang berada di daerah yang berpotensi tinggi terjangkit Covid-19 diperbolehkan untuk meninggalkan Shalat Jumat dan menggantinya dengan salat Zuhur.
"Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan salat zuhur di tempat kediaman," kata Hasanuddin dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/3/2020).
"Serta meninggalkan jemaah salat lima waktu atau rawatib, tarawih dan ied di masjid atau tempat umum lainnya," sambung dia.
• Cristiano Ronaldo & Lionel Messi Dikarantina Terkait Virus Corona, Ini yang Dilakukan Dua Rival Itu
• Satu Pasien Suspect Virus Corona di RSUD Ulin Banjarmasin Meninggal, Gejala Pneumonia dan Diabetes
Sedangkan umat Islam yang berada di daerah berpotensi rendah terjangkit Covid-19 diminta tetap wajib melaksanakan salat Jumat di masjid.
Namun, umat diimbau tetap mengurangi kontak fisik, membawa sajadah sendiri serta rajin cuci tangan.
"Wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona, seperti tidak kontak fisik langsung bersalaman, berpelukan, cium tangan, membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun," lanjut dia.
Terkait umat Islam yang positif terjangkit Covid-19, MUI melarangnya untuk salat Jumat berjemaah di masjid serta menyarankannya untuk mengganti salat Jumat dengan salat zuhur di tempatnya masing-masing.
"Baginya haram melakukan aktivitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu atau rawatib, shalat tarawih dan ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar," ujar Hasanuddin.
MUI, lanjut Hasanuddin, juga mengharamkan umat Islam melakukan salat jumat ketika situasi wabah Covid-19 tidak terkendali.
Apabila wabah tersebut masih terkendali, semua umat Islam wajib melaksanakan salat jumat di masjid.
"Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jamaah salat lima waktu atau rawatib, salat tarawih dan ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim," lanjut Hasanuddin.
Lantas bagaimana hukum orang yang berpenyakit menular seperti positif virus corona yang memaksa ikut Salat Jumat?
Mengutip NU.OR yang berjudul Pengidap Penyakit Menular Dilarang Shalat Jumat?, Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat memberikan penjelasannya.
Kewajiban shalat Jumat sudah tidak diragukan lagi, berdasarkan banyak dalil dari Al-Qur’an dan al-Hadits.
Di beberapa kitab fiqih banyak dijelaskan tentang ancaman dan beratnya dosa meninggalkan Jumat tanpa udzur syar’i (alasan yang diterima syariat).
Namun di sisi lain, agama menganjurkan agar menjaga kesehatan, baik untuk keselamatan individu atau jamaah.
Hal tersebut dapat dibuktikan misalnya dengan kesunnahan berobat bagi orang sakit, anjuran menjaga lingkungan yang sehat, kewajiban kolektif belajar ilmu medis, bahkan agama mewajibkan kepada pemerintah untuk membantu biaya berobat orang sakit yang tidak mampu dalam kondisi kas negara memadai.
Bila tidak memungkinkan pembiayaan dari kas negara, kewajiban tersebut dibebankan kepada orang Muslim yang kaya.
Menjadi sesuatu yang cukup dilematis bagi orang yang mengidap penyakit menular (berdasarkan tinjauan medis).
Di satu sisi, Jumatan adalah kewajiban, di sisi yang lain penyakit menularnya akan membahayakan keselamatan jamaah lain.
Sebetulnya, apakah orang yang mengidap penyakit menular tetap wajib Jumatan? Atau justru dilarang hadir?
Salah satu dasar teologis wujud faktanya penyakit menular adalah hadits Nabi:
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ
“Menghindarlah dari pengidap penyakit lepra seperti engkau menghindar dari singa” (HR. Ahmad, al-Bukhari, dan lainnya).
Al-Imam al-Syafi’i sebagaimana dikutip Syekh Khatib al-Syarbini menegaskan:
الجذام والبرص مما يزعم أهل العلم بالطب والتجارب أنه يعدي كثيرا، وهو مانع للجماع لا تكاد نفس أحد أن تطيب أن يجامع من هو به، والولد قل ما يسلم منه
“Lepra dan kusta adalah salah satu penyakit yang diduga oleh pakar kedokteran dapat menular secara massif. Penyakit tersebut dapat mencegah hubungan badan, hampir pasti tidak ditemukan seseorang yang bersedia berhubungan badan dengan pengidap penyakit tersebut. Anak pengidap penyakit tersebut jarang sekali selamat dari penularan penyakit yang diderita bapak/ibu biologisnya” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj [Beirut: Dar al-Ma’rifat Beirut], juz 3, hal. 268).
Wujudnya penyakit menular tidak bertentangan dengan hadits Nabi “tidak ada penyakit menular”, sebab hadits tersebut konteksnya adalah penolakan terhadap anggapan kaum jahiliyah bahwa menularnya penyakit bukan dari perbuatan Allah, namun dari kekuatan penyakit itu sendiri.
Dalam lanjutan referensi di atas, Syekh Khatib al-Syarbini kembali menegaskan:
فإن قيل كيف قال الشافعي إنه يعدي وقد صح في الحديث لا عدوى؟ .أجيب بأن مراده أنه يعدي بفعل الله لا بنفسه والحديث ورد ردا لما يعتقده أهل الجاهلية من نسبة الفعل لغير الله تعالى وأن مخالطة الصحيح لمن به شيء من هذه الأدواء سبب لحدوث ذلك الداء
“Jika dipertanyakan; bagaimana mungkin Imam al-Syafi’i mengatakan lepra dan kusta menular, sementara terdapat hadits shahih; “tidak ada penyakit menular”. Kejanggalan tersebut dijawab bahwa yang dikehendaki al-Syafi’i adalah penyakit menular karena perbuatan Allah, bukan karena perbuatan penyakit itu sendiri. Sedangkan konteksnya hadits adalah penolakan terhadap keyakinan kaum Jahiliyyah yaitu penisbatan perbuatan kepada selain Allah, dan bahwa bergemulnya orang sehat dengan pengidap penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab (dalam konteks hukum kebiasaan, bukan hukum hakikat) terjadinya penyakitnya menular”. (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 3, hal. 268-269, cetakan Dar al-Ma’rifat Beirut Lebanon).
Dalam tinjauan fiqih Jumat, penderita penyakit menular tidak terkena tuntutan kewajiban Jumatan, sebab dapat memberikan rasa tidak nyaman kepada jamaah lain, bahkan melebihi ketidaknyamanan jamaah disebabkan bau aroma tidak sedap orang yang mengonsumsi semisal jengkol.
Pertimbangan mengganggu jamaah lain ditegaskan para ulama menjadi salah satu faktor yang menyebabkan gugurnya kewajiban Jumatan.
Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli sebagaimana dikutip Syekh Abdul Hamid al-Syarwani mengatakan:
عبارة النهاية ومثل ذلك من بثيابه أو بدنه ريح كريهة كدم فصد وقصاب وأرباب الحرف الخبيثة وذي البخر والصنان المستحكم والجراحات المنتنة والمجذوم والأبرص ومن داوى جرحه بنحو ثوم؛ لأن التأذي بذلك أكثر منه بأكل نحو الثوم
“Redaksi kitab al-Nihayah; Disamakan dengan hal tersebut di atas (pengonsumsi semisal bawang yang menyebabkan bau mulut tidak sedap) yaitu orang yang di pakaian atau badannya terdapat bau yang dibenci (tidak sedap) seperti darah bekam, tukang kayu dan pekerja-pekerja rendahan, orang yang memiliki bau mulut yang akut, pengidap luka-luka yang berbau anyir, pengidap lepra dan kusta serta orang yang pengobatan lukanya membutuhkan semisal bawang, sebab mengganggu jamaah dengan hal yang tersebut di atas lebih besar dari mengonsumsi semisal bawang” (Syekh Abdul Hamid al-Syarwanin, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], juz 3, hal. 54).
Tidak hanya gugur kewajiban Jumatnnya, penderita penyakit menular juga dilarang masuk masjid, shalat Jumat dan bergemul dengan orang sehat. Dalam lanjutan referensi di atas, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani mengatakan:
ومن ثم نقل القاضي عياض عن العلماء منع الأجذم والأبرص من المسجد، ومن صلاة الجمعة، ومن اختلاطهما بالناس.
“Dan karena pertimbangan di atas, al-Qadli ‘Iyadl mengutip dari para Ulama perihal tercegahnya pengidap penyakit lepra dan kusta dari memasuki masjid, melaksanakan shalat Jumat dan bergemul dengan manusia (yang sehat)”. (Syekh Abdul Hamid al-Syarwanin, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], juz 3, hal. 54).
Dalam referensi lain ditegaskan, kewajiban mencegah pengidap lepra dan kusta dibebankan kepada siapa pun yang mampu, baik pemerintah atau warga sipil, sebab pencegahan penularan penyakit tersebut bagian dari amar ma’ruf nahi munkar (memerintah kebaikan dan mencegah kemunkaran).
Syekh Ibnu Ziyad dalam himpunan fatwanya mengatakan:
يجب منع الأبرص والمجذوم من الجماعة ومن مخالطة الناس، سواء الإمام وغيره ممن قدر على ذلك، لأنه من باب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر.
“Wajib mencegah pengidap lepra dan kusta dari shalat Jamaah dan bergemul dengan orang sehat, baik imam atau lainnya dari orang yang mampu mencegahnya, sebab pencegahan tersebut merupakan bagian dari memerintah kebaikan dan mencegah kemunkaran”. (Syekh Ibnu Ziyad, Ghayath Talhkhish al-Murad, hal. 28).
Pencegahan terhadap penderita penyakit menular dari interaksi sosial meniscayakan ia tidak dapat bekerja dan beribadah dengan maksimal.
Dalam hal ini, agama Islam memberi tanggung jawab kepada pemerintah atau orang kaya (jika kas negara tidak memadai) untuk membantu biaya hidupnya selama masa karantina.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan:
ومن ثم منع نحو أبرص وأجذم من مخالطة الناس وينفق عليهم من بيت المال أي فمياسيرنا فيما يظهر
“Dan dari pertimbangan (mengganggu) tersebut, orang yang mengidap penyakit sejenis lepra dan kusta dicegah dari bergemul dengan manusia. Ia wajib diberi nafkah dari kas negara (jika memadai), kemudian dari sumbangan orang-orang kaya menurut pendat yang jelas”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Hamisy Hasyiyah al-Syarwani [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], juz 3, hal. 54).
Demikian penjelasan mengenai tinjauan fiqih Jumat bagi pengidap penyakit menular.
• Cristiano Ronaldo & Lionel Messi Dikarantina Terkait Virus Corona, Ini yang Dilakukan Dua Rival Itu
• Satu Pasien dalam Pengawasan RSUD Ulin Meninggal, Direktur: Pasien Menderita Pneumonia dan Diabetes
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Fatwa MUI: Umat di Area Rawan Covid-19 Boleh Tinggalkan Salat Jumat, Diganti Salat Zuhur"