Kriminalitas Internasional
Cerita Pilu 18 ABK Indonesia di Kapal China, Dijadikan Budak Setelah Meninggal Dibuang ke Laut
Sebanyak 18 ABK asal Indonesia dijadikan budak di kapal China, mereka bekerja 18 jam sehari dengan gaji sangat kecil.
Editor : Didik Trio Marsidi
BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA - Sebanyak 18 ABK asal Indonesia dijadikan budak di kapal China, mereka bekerja 18 jam sehari dengan gaji sangat kecil.
Kesengsaraan ABK asal Indonesia belum berakhir, mereka tidak mendapat pengobatan saat sakit hingga meninggal dunia. Setelah meninggal jenazah ABK dibuang ke laut.
Menanggapi hal itu Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor mengutuk keras dugaan kasus human trafficking atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terhadap 18 anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di Kapal China bernama Longxing.
“Tragedi kemanusiaan yang menimpa 18 ABK asal Indonesia tersebut adalah bentuk-bentuk perbudakan modern (modern slavery) dan diduga keras telah terjadi TPPO. Hal ini tampak jelas dari cara perusahaan menangani ABK yang sedang sakit hingga penguburannya yang tidak manusiawi dengan cara melarung ke laut. Ini tindakan biadab, sebab itu kami mengutuk keras,” tegas Ketua Umum PP GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, Kamis (7/5/2020).
• Sadis! Bekerja 18 Jam Sehari di Kapal China, saat Meninggal Jenazah ABK Indonesia Dilempar ke Laut
• Kumpulan Soal & Jawaban Belajar dari Rumah TVRI Kamis 7 Mei SD, SMP & SMA Tak Ada, Ini Jadwalnya
• Reaksi Keras Susi Pudjiastuti soal Penyiksaan ABK Indonesia di Kapal Nelayan China
GP Ansor, kata Yaqut, menuntut kepada Dalian, perusahaan yang mempekerjakan para ABK tersebut, meminta maaf secara terbuka kepada korban dan masyarakat Indonesia, serta memenuhi hak-hak pekerja sepenuhnya dan mengganti semua akibat pelanggaran yang telah dilakukan perusahaan kepada ABK dan para ahli warisnya.
“GP Ansor juga meminta Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, BP2MI, Kementerian Ketenagakerjaan dan pihak terkait lainnya untuk memberikan perlindungan maksimal kepada ke-14 ABK selama masa karantina hingga proses pemulangan ke Tanah Air. Pemerintah Indonesia juga harus mengupayakan hak-hak ke-4 ABK yang meninggal dunia secara maksimal untuk diterimakan kepada ahli warisnya,” tandas Gus Yaqut, sapaan akrabnya.
Selain itu, Gus Yaqut meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk memperkuat perlindungan kepada ABK dan pekerja rentan lainnya.
“Salah satunya dengan segera meratifikasi instrumen internasional seperti Konvensi ILO No. 188 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (Work in Fishing),” ujar Gus Yaqut, yang juga Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini.
GP Ansor, lanjut dia, menyesalkan terjadinya tragedi kemanusiaan dan pelanggaran serius hak-hak buruh ini.
“Untuk itu, GP Ansor akan memberikan pendampingan hukum melalui LBH Ansor dan bekerjasama dengan pihak-pihak lain untuk mengupayakan perlindungan terbaik kepada ke-14 ABK dan ahli waris dari 4 ABK yang gugur dalam tugas,” ucapnya.
Gus Yaqut menceritakan, ia mendapat kabar dugaan TPPO yang menimpa 18 ABK asal Indonesia tersebut langsung dari Ketua Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Korea Selatan, Ari Purboyo.
Ari mengatakan, ke-18 ABK tersebut sudah mengarungi lautan lepas semenjak setahun lalu. Menurut keterangan salah satu ABK yang disampaikan ke Ketua SPPI Korea Selatan, mereka hanya digaji sebesar 140.000 won atau setara Rp1,7 juta setelah 13 bulan bekerja.
Menurut Gus Yaqut, kabar ini juga dibenarkan Ketua Umum SPPI, Ach. Ilyas Pangestu. Keterangan Ilyas, kapal tuna bernama Longxing 629 itu berbendera Republik Rakyat China dan milik perusahaan bernama Dalian di China.
Kata Ilyas, Longxing 629 berangkat dari Busan, Korea Selatan, pada 14 Februari 2019, menuju laut lepas.
Setelah 15 hari berada di laut lepas di sekitar Samoa, kapal ini mulai menangkap ikan tuna. Kapal tersebut menangkap ikan selama 8 bulan dan berhenti menangkap ikan tuna setelahnya.
