Jendela
Dilema Normal Baru dan Taubat Kita
Kita tahu, banyak masalah muncul di banyak tempat. Ketika PSBB diterapkan, kita berharap aparat tegas dan masyarakat patuh.
Editor: Royan Naimi
Oleh: Profesor Mujiburrahman, Rektor UIN Antasari Banjarmasin
Dilema itu adalah dua pilihan yang sama-sama tidak memuaskan: tetap di rumah saja atau bekerja ke luar rumah. Tetap di rumah akan melindungi Anda dari virus Corona, tetapi jika duit tak ada, lama-lama Anda mati kelaparan. Jika keluar rumah, Anda bisa mencari nafkah, tetapi jika tak hati-hati Anda akan diterkam Covid-19. Di antara dua pilihan itu, yang ideal adalah jalan tengah, tetapi itu tak mudah.
Jalan tengah itu antara lain disebut normal baru (new normal). Menurut KBBI, normal artinya “menurut pola yang umum; sesuai atau tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah; sesuai dengan keadaan yang biasa; tidak ada kelainan.” Namun, kali ini normalnya justru baru. Kita tidak kembali kepada kebiasaan lama, tetapi menciptakan kebiasaan baru. Normal baru adalah normal yang abnormal.
Istilah lain yang juga menunjukkan jalan tengah adalah pelonggaran atau relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Semula ketat, dilonggarkan. Semula tegang, direlakskan. Namun pembatasan tidak dilepas total. Yang paling panjang adalah dari Presiden Joko Widodo, yaitu “masyarakat produktif dan aman Covid-19 di masa pandemi.” Artinya, secara ekonomi produktif, secara kesehatan aman.
Adalagi istilah Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) yang dikemukakan oleh Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat. Istilah ini juga mengandung pertentangan. Sesuatu yang baru bukanlah kebiasaan. Kebiasaan lahir setelah beberapa waktu dibiasakan. Mungkin karena itu, ditambahkanlah kata “adaptasi” yang artinya penyesuaian diri. AKB berarti penyesuaian diri terhadap keadaan baru sampai ia menjadi kebiasaan.
Adapun Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina, setelah kemarin memutuskan tidak memperpanjang PSBB, dia meminta dilaksanakan PSBK (Pembatasan Sosial Berskala Kecil). Menurut Juru Bicara GTPP Banjarmasin, Machli Riyadi, “di PSBK garda terdepannya adalah masyarakat. Jika di Rukun Tetangga, kompleks dan perumahan ketat menerapkannya, maka tugas dan beban tenaga kesehatan akan jauh lebih ringan.”
Kita tahu, banyak masalah muncul di banyak tempat. Ketika PSBB diterapkan, kita berharap aparat tegas dan masyarakat patuh. Mereka yang miskin dapat santunan pemerintah sehingga tidak perlu keluar rumah. Faktanya kita tahu juga. Aparat kadang tegas, kadang tidak. Masyarakat sebagian taat, sebagian lagi tidak peduli dengan pembatasan. Bantuan untuk kaum miskin juga tidak semua berjalan lancar.
Setelah dua hingga tiga bulan PSBB, masyarakat mulai jenuh, dan pemerintah mulai khawatir dengan kondisi ekonomi kita. Anggaran yang disiapkan pemerintah untuk bantuan sosial juga menipis. Kita tidak boleh berlama-lama dalam kebingungan dan keraguan. Memaksa terus masyarakat di rumah sudah tidak mungkin. Sedangkan melepas mereka dengan bebas juga berbahaya. Harus ada jalan tengah.
Sudah pasti jalan tengah itu tidak mudah. Pengalaman PSBB menunjukkan, kita tidak bisa menjalankan protokol kesehatan dengan baik. Setelah masyarakat mendengar pemerintah akan melonggarkan PSBB, gejalanya tampak makin parah. Perilaku mereka banyak yang kembali “normal”, bukan “normal baru”. Cukup banyak orang yang berani keluar rumah tanpa masker dan tidak menjaga jarak di ruang publik.
Karena itu, tantangan normal baru ini semakin berat. Pertama, pendataan kasus Covid-19 harus akurat dan lengkap sehingga pemerintah mudah memutuskan kabupaten/kota mana yang layak dan tidak untuk dilonggarkan . Kedua, harus ada panduan protokol kesehatan yang rinci dan jelas untuk masing-masing sektor. Ketiga, penegakan hukum dan penjatuhan sanksi atas mereka yang melanggar. Keempat, komunikasi yang efektif kepada masyarakat dengan memperhatikan budaya setempat.
Bagaimana pun, kita semua harus berusaha. Pemerintah bekerja keras dengan kekuasaan dan anggaran yang dikelolanya, sedangkan masyarakat mendukung kebijakan pemerintah demi kebaikan bersama. Tak bisa bertepuk sebelah tangan. Seperti pesan (alm.) Guru Zuhdiannor, “Dalam menghadapi Covid-19 ini, jangan sampai kita saling menyalahkan. Kita semua bersalah. Kita harus bertaubat kepada Allah.”
Ya, kita harus bertaubat, kembali kepada yang baik dan benar. Bertaubat dari kesalahan yang telah dilakukan selama PSBB lalu. Bertaubat itu artinya menyesali perbuatan salah yang telah dilakukan dan bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Jika perbuatan salah itu merugikan manusia, maka harus pula meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Lebaran kemarin kiranya kita sudah saling memaafkan.
Alhasil, entah itu disebut normal baru, AKB, PSBK atau masyarakat produktif aman Covid, semua kembali kepada kita: mau taubat sejati atau taubat sambal. Taubat sejati adalah jalan keluar dari dilema yang kita hadapi. Jika tidak, sudah bisa dipastikan, Covid-19 akan semakin merajalela. Na’ûdzubillah!
