Pajak Sembako

Sembako Bakal Kena Pajak, Wakil Ketua MPR: Pemerintah Berpotensi Langgar Sila Kelima

Wacana pajak kebutuhan pokok alias pajak sembako oleh pemerintah langsung menuai sorotan. pemerintah berpotensi langgar sila kelima Pancasila

banjarmasinpost.co.id/herliansyah
Pedagang sembako di Pasar Kemakmuran Kotabaru, beberapa waktu lalu.Sembako Bakal Kena Pajak, Wakil Ketua MPR: Pemerintah Berpotensi Langgar Sila Kelima 

Editor : Anjar Wulandari

BANJARMASINPOST.CO.ID - Wacana pajak kebutuhan pokok alias pajak sembako oleh pemerintah langsung menuai sorotan. Jika hal itu jadi diterapkan, maka pemerintahan Presiden Joko Widodo disebut melanggar sila kelima Pancasila.

Demikian disampaikan Wakil Ketua MPR Arsul Sani soal wacana pajak pertambahan nilai (PPN) atas bahan pokok dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan patut dipertanyakan publik.

"Patut dipertanyakan dari nilai-nilai Pancasila karena berpotensi melanggar sila kelima," kata Arsul dalam keterangannya, Kamis (10/6/2021).

Menurut Arsul, konstitusionalitas kebijakan tersebut terbuka untuk dipersoalkan apabila nantinya benar-benar masuk dalam Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

Baca juga: Cara Dapat Insentif Kemenparekraf Hingga Rp 200 Juta, Khusus Pelaku Usaha Ekonomi Kreatif

Baca juga: Pelayanan Publik di Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas Dinilai Ombudsman

Kebijakan itu, kata dia, terbuka untuk digugat dengan argumentasi bertentangan dengan Pasal 33 ayat 4 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

"Khususnya terkait dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan menjaga keseimbangan kesatuan ekonomi nasional," ujar dia.

Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengingatkan, beberapa waktu lalu pemerintah telah melakukan relaksasi kebijakan perpajakan dengan meminimalkan pengenaan pajak pertambahan nilai atas barang mewah (PPN-BM) terhadap mobil dengan kategori tertentu.

Padahal, menurut dia, yang diuntungkan dari kebijakan ini hanya sebagian rakyat Indonesia.

"Khususnya mereka yang berstatus kelas menengah ke atas yang memiliki kemampuan dan daya beli atas mobil yang mendapatkan keringanan PPN-BM," kata dia. "Ini artinya, pemerintah rela kehilangan salah satu sumber pendapatan fiskalnya," ucap dia.

Sekadar diketahui, rencana tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kebutuhan pokok atau sembako itu tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Di dalam aturan tersebut, sembako tak lagi termasuk dalam objek yang PPN-nya dikecualikan.

Pedagang Sembako, Hasanah (55), saat berjualan di Pasar Pekauman, Jalan Rantauan Darat, kelurahan Pekauman, kecamatan Banjarmasin Selatan, Rabu (10_6_2020)
Pedagang Sembako, Hasanah (55), saat berjualan di Pasar Pekauman, Jalan Rantauan Darat, kelurahan Pekauman, kecamatan Banjarmasin Selatan, Rabu (10/6/2020) (dok banjarmasinpost.co.id)

Terkait rencana itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo pun buka suara. Melalui akun Twitternya, @prastow, ia tak membantah mengenai kemungkinan pemungutan PPN sembako.

Namun demikian, ia menegaskan pemerintah tidak akan membabi buta dalam memungut pajak. Meski di sisi lain, pemerintah pun uang akibat pandemi yang turut memberikan dampak pada pendapatan negara.

"Kembali ke awal, nggak ada yg tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yg diperjuangkan mati2an justru dibunuh sendiri. Mustahil!," jelas dia dalam kicauannya, Rabu (9/6/2021).

Yustinus pun telah mengizinkan Kompas.com untuk mengutip utasnya di Twitter tersebut.

Yustinus mengatakan, meski revisi RUU KUP mulai dirancang tahun ini, namun bukan berarti pemungutan pajak sembako akan dilakukan di tahun yang sama.

Di masa pandemi, pajak diarahkan sebagai stimulus, artinya, penerimaan negara tertekan, di sisi lain belanja negara meningkat tajam. Untuk itu, secara bersamaan pemerintah pun mendesain kebijakan yang bisa menjamin keberlanjutan di masa yang datang.

Penerapan pungutan atas PPN Sembako untuk beberapa barang dan jasa yang sebelumnya dikecualikan pun menunggu ekonomi pulih secara bertahap.

"Di sisi lain pemerintah memperkuat perlindungan sosial. Semakin banyak keluarga mendapatkan bansos dan subsidi diarahkan ke orang. Maka jadi relevan: bandingkan potensi bertambahnya pengeluaran dengan PPN (misal 1 persen atau 5 persen), dengan bansos/subsidi yang diterima rumah tangga," jelas Yustinus.

Di dalam Revisi UU KUHP tersebut dijelaskan, beberapa barang dan jasa yang dihapus dari pengecualian PPN yakni beberapa barang hasil tambang maupun hasil pengeboran yang semula tak dikenai PPN.

Namun, hasil tambang itu tak termasuk hasil tambang batubara. Kemudian, pemerintah juga menambah objek jasa baru yang akan dikenai PPN, antara lain jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan dan jasa asuransi.

Kemudian jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa angkutan udara dalam dan luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Yustinus menjelaskan, salah satu pertimbangan penting atas perluasan basis PPN serta kenaikan PPN yakni kinerja perpajakan RI yang cenderung masih rendah.

Baca juga: Pelayanan Publik di Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas Dinilai Ombudsman

Baca juga: Gaji ke-13 PNS Paling Cepat Cair 2 Juni 2021, Simak Besarannya Setelah SE Kemenkeu Terbaru Beredar

Ia menjelaskan, kinerja perpajakan Indonesia masih lebih rendah dibandingkan Thailand dan Singapura di lingkup Asean. Bahkan di lingkup global, Indonesia masih lebih rendah ketimbang Afrika Selatan dan Argentina.

"Tentu saja ini tantangan: peluang dan ruang masih besar, maka perlu dipikirkan ulang mulai sekarang. Ini pertimbangan pentingnya," ujar Yustinus.

Beberapa negara juga diketahui melakukan penataan ulang sistem PPN baik melalui perluasan basis pajak serta penyesuaian tarif. Yustinus mencatat, ada 15 negara yang menyesuakan tarif PPN untuk membiayai penanganan pandemi. Rata-rata tarif PPN di 127 negara adalah 15,4 persen. Sementara, tarif PPN di Indonesia cenderung lebih rendah, yakni 10 persen.

"Mohon terus dikritik, diberi masukan, dan dikawal. Ini masih terus dikaji, dipertajam, dan disempurnakan. Pada waktunya akan dibahas dg DPR. Jika disetujui, pelaksanaannya memperhatikan momen pemulihan ekonomi. Kita bersiap utk masa depan yg lebih baik," kata Yustinus.

Artikel ini telah tayang di TribunSumsel.com dengan judul Wakil Ketua MPR Sebut Pemerintahan Jokowi Langgar Sila Kelima Pancasila Bila Tarik Pajak Sembako, dan  di Kompas.com dengan judul "Begini Penjelasan Stafsus Sri Mulyani Soal PPN Sembako"

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved