Opini Publik
Setrum Taper Tantrum
Pendalaman pasar keuangan, pengelolaan likuiditas, dan pengendalian suku bunga perbankan menjadi sasaran internal yang bisa digapai
Oleh : Haryo Kuncoro (Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta)
BANJARMASINPOST.CO.ID - SEMAKIN sempitnya ruang gerak kebijakan moneter dan makroprudensial agaknya tidak menyurutkan hasrat Bank Indonesia (BI) untuk terus bermanuver. Tuntutan primer peran stabilisasi ekonomi makro yang diemban BI tampaknya akan disiasati dengan mengakselerasi efektivitas transmisi kebijakan moneter.
Kecenderungan ini setidaknya bisa disimak dari rilis BI pada akhir bulan lalu tentang program pengembangan pasar keuangan Indonesia. Sesuai Blue Print Pengembangan Pasar Uang 2025 yang diluncurkan pada 14 Desember 2020, fokus pengembangan pasar uang pada 2021-2022 menyasar pada transaksi repurchase agreement (Repo) dan domestic non-deliverable forward (DNDF).
Pengembangan instrumen Repo dengan suku bunga 7-day reverse repo rate sebagai acuan memosisikan SBN (surat berharga negara) sebagai instrumen utama dalam operasi pasar terbuka. Pendalaman pasar keuangan, pengelolaan likuiditas, dan pengendalian suku bunga perbankan menjadi sasaran internal yang bisa digapai.
Sementara, instrumen DNDF ditujukan pada ranah eksternal, terutama nilai tukar rupiah. Instrumen DNDF bukan sesuatu yang baru sama sekali. BI sudah mendayagunakan DNDF sebagai salah satu trisula intervensi (triple intervention) di pasar valuta asing, sejajar dengan kiprah BI di pasar spot dan pasar sekunder SBN.
Momen rilis program pengembangan transaksi repo dan DNDF di atas agaknya berbarengan dengan merebaknya rumor taper tantrum. Banyak analis kemudian menghubungkan pengembangan transaksi repo dan DNDF sebagai langkah antisipasi dini untuk menghadapi risiko taper tantrum.
BI sendiri memperkirakan pengetatan moneter akan dilakukan Amerika Serikat (AS) paling cepat pada tahun depan. BI agaknya sudah bisa mengambil pelajaran berharga dari kebijakan taper tantrum AS pada 2013 dengan segala dampak negatifnya pada stabilitas pasar keuangan nasional dan global.
Dugaan tersebut tidak berlebihan. Paket stimulus 1,9 triliun dolar AS sudah mulai dieksekusi. Gelontoran stimulus fiskal memancarkan keyakinan pemulihan ekonomi dalam negeri AS bekerja jauh lebih cepat dari perkiraan. Angka inflasi 5 persen (biasanya kurang dari 2 persen) seolah menjadi bukti yang sahih.
Paket stimulus fiskal AS itu dibiayai dari penerbitan surat utang pemerintah (US treasury). Kebutuhan pembiayaan anggaran belanja yang besar mengharuskan pemerintah AS berani memberikan iming-iming return yang lebih tinggi agar pemain pasar global bersedia memegang surat utang pemerintah AS.
Hal itu memicu wacana bank sentral AS akan mengurangi secara bertahap program pembelian obligasi yang menopang pemulihan ekonomi. Bahkan cepat atau lambat, bank sentral AS juga akan menyeimbangkan kembali neraca keuangannya dengan menjual surat obligasi pemerintah AS yang dipegangnya.
Benang merah yang bisa ditarik dari kebijakan negara Paman Sam di atas adalah kemungkinan pelarian modal (capital outflow) dari pasar berkembang – termasuk Indonesia. Pelarian modal berefek langsung pada penyusutan cadangan devisa. Ujung-ujungnya nilai tukar rupiah terhadap dolar akan bergejolak.
Pada titik ini, kebijakan penguatan pasar DNDF layak mendapat kredit poin tersendiri. Pelarian modal memantik pembelian dolar dalam jumlah besar, terutama oleh investor asing. Intervensi valuta asing di pasar spot dan pasar sekuritas sangat boleh jadi memberi kesan BI panik.
Intervensi di tengah ketidakpastian global juga terasa sangat mahal. Krisis 1997/1998 memberikan pelajaran berharga. Semakin gencar BI mensterilisasi pasar, semakin besar pula hasrat spekulan ikut ‘memancing di air keruh’. Cadangan devisa BI bisa tergerus akibat aksi ‘membakar dolar’ dengan menjual dolar semacam ini.
Cerita di atas akan sedikit berbeda dengan DNDF. Pasar DNDF berada di ranah forward. Kelebihan DNDF dibanding intervensi di pasar spot dan di pasar sekunder adalah jual-beli valuta asing terjadi tanpa diikuti pertukaran fisiknya. Artinya, kadar intensitas kebutuhan tunai valuta asing bisa dikendalikan.
Dengan cara ini pula, pembelian dolar di waktu yang akan datang sejatinya telah ‘digeser’ untuk waktu sekarang. Perbedaan jarak waktu antara keduanya membuat nilai tukar rupiah juga berlainan yang menuntut biaya ekstra untuk lindung nilai. Dalam konteks DNDF inilah, BI membiayai risiko perbedaan kurs.
BI membayar premi atas selisih kurs pada saat transaksi terjadi. Premi yang dibayar BI berdasarkan pada mekanisme lelang sehingga sudah tercapai skala harga yang paling efisien. Pembayaran premi yang dilakukan BI pun dalam rupiah sehingga tidak menggerus cadangan devisa yang dipegang BI.
Oleh karenanya, DNDF dapat dimanfaatkan oleh pelaku pasar sebagai instrumen lindung nilai terhadap risiko perubahan nilai tukar. Apa lagi, implementasi transaksi DNDF anyar nantinya dikembangkan dalam sistem perdagangan elektronik. Proses pertukaran dilakukan dengan pusat rekanan (central counterparty) sehingga lebih transparan.
Alhasil, penguatan pasar DNDF diharapkan mampu menjalankan fungsi sebagai rujukan yang kredibel atas nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS di masa datang.
Intinya, BI bisa memperkirakan pergerakan nilai tukar rupiah di waktu yang akan datang sehingga bisa sejak awal menyiapkan strategi komplementernya.
Kalaupun pasar DNDF sudah kuat, persoalan nilai tukar tidak berhenti sampai di sini. Problema daya jangkau pasar DNDF agaknya sangat urgen di sini. Pasar DNDF harus mampu menjadi acuan bagi pasar sejenis di luar negeri sehingga potensi mobilitas valuta asing ke luar negeri bisa diredam.
Sampai di sini, mekanisme pasar DNDF bisa bekerja jika ada kesamaan persepsi antara BI dengan pelaku pasar keuangan. Persoalannya pelaku pasar belum banyak yang familiar dengan DNDF. Besarnya nilai transaksi periodik valuta asing di pasar spot tampaknya bisa menjadi cerminan komparasi.
Bertransaksi di pasar derivatif memang membutuhkan perhitungan yang tidak ‘umum’ dan memuntut logika yang amat komprehensif. Namun jika seluk-beluk pasar DNDF bisa utuh dipahami oleh pelaku pasar keuangan, nilai tukar rupiah di masa datang niscaya tetap sejalan dengan nilai fundamentalnya.
Bagaimanapun stabilitas nilai tukar tetap menjadi faktor penting dalam mendukung pemulihan ekonomi apalagi Indonesia menganut sistem perekonomian terbuka. Artinya, dinamika global senantiasa mengiringi kinerja perekonomian nasional dengan segala peluang dan tantangannya.
Alhasil, kebijakan stabilisasi nilai tukar yang berbasis pada paradigma ‘mendahului keadaan’ (front loading, pre-emptive, dan ahead the curve) yang diusung BI akan kian kredibel. Potensi gejolak nilai tukar rupiah bisa dikendalikan sejak dari sumbernya. Pada akhirnya, sengatan ‘setrum’ taper tantrum pun akan terkelola secara sistematis. Bukan begitu, BI? (*)