Selebrita

Teriakan Ayu Ting Ting Lihat para Pria Ganteng Tampil, Colek Syifa yang Bulan Madu Bareng Nanda

Ayu Ting Ting tak ikut melancong ke NTT dengan Assyifa Nuraini dan Nanda Fachrizal yang lagi pergi berbulan madu. Kini teriak lihat para pria ganteng

Penulis: Kristin Juli Saputri | Editor: Murhan
Instagram/ayutingting
Ayu Ting Ting dan Syifa 

Tapi apa yang terjadi ketika cinta yang hadir justru merusak dan mengundang emosi negatif seperti takut, cemas, atau marah? Hasilnya adalah obsesi.

Ketika seseorang mulai terobsesi, ia tidak mau mengakui bahwa ia ternyata memiliki obsesi terhadap sesuatu atau seseorang, karena kata obsesi sendiri dianggap sebagai hal yang buruk. Tapi faktanya, banyak dari kita yang terobsesi terhadap sesuatu.

Beberapa di antara kita mungkin terobsesi dengan pakaian, lainnya terobesi dengan makanan, lainnya dengan penampilan atau terobsesi dengan pekerjaannya, bahkan terobsesi dengan seseorang yang kita idolai.

Yang jelas, seperti dikatakan Dr. Carmen Harra, PhD, seorang psikolog intuitif dalam websitenya CarmenHarra.com, yang perlu kita mengerti adalah obsesi tidak akan pernah menjadi sesuatu yang positif.

“Bahkan kalau kita terobsesi dengan menolong orang miskin atau menyebarkan cinta, yang merupakan sebuah hal positif, tetap saja tidak boleh ada pikiran atau tindakan yang sampai mendominasi hidup kita sampai ke titik di mana kita hanya hidup untuknya,” papar Harra.

Kata “obsesi” berasal dari bahasa latin “obsidere”, yang artinya “untuk duduk di dalamnya, atau menghuni”. Orang yang menjadi obsesi kita ibarat menghuni otak kita. Mereka menjadi perhatian utama yang mengelilingi pikiran kita.

Baca juga: Peluk Tubuh Celine Evangelista di Tempat Umum, Aksi Hotman Paris Picu Reaksi Melaney Ricardo

Baca juga: Keluhan Venna Melinda pada Ferry Irawan yang Seminggu Dinikahi Mencuat, Ibu Verrell Bramasta Curiga

Obsesi bisa mempengaruhi pikiran kita

Ketika obsesi mendominasi diri kita, ia akan mencuri kemauan kita dan melemahkan semua kesenangan dalam hidup.

Kita akan menjadi bodo, ketika pikiran kita mengulang lagi dialog, gambar, atau kata-kata yang sama. Dalam obrolan, kita hanya memiliki sedikit ketertarikan dari apa yang dikatakan orang lain, dan hanya membicarakan apa yang jadi obsesi kita, tidak sadar akan apa dampaknya pada orang lain.

Seperti dikatakan Darlen Lancer, JD, MFT, terapis pernikahan dan keluarga, serta ahli dalam hubungan dan kodependensi dalam PsychCentral, obsesi memiliki kekuatan yang berbeda-beda pada setiap orang.

Ketika obsesi hanya dalam tahap ringan, kita masih bisa bekerja dan mengendalikan diri kita. Ketika obsesi semakin intens, pikiran kita akan fokus pada obsesi kita.

Yang perlu diperhatikan adalah obsesi bisa memengaruhi pikiran kita. Pikiran kita berlari dalam lingkaran, merasakan kecemasan, fantasi, atau berusaha mencari sebuah jawaban.

Mereka bisa mengambil alih hidup kita, jadi kita bisa lupa jam, tidur, atau bahkan hari, dan kita teralihkan dari aktivitas yang menyenangkan dan produktif.

Obsesi bisa melumpuhkan kita. Kadang-kadang ia mendorong kita berperilaku kompulsif seperti berkali-kali mengecek email atau media sosial. Kita kehilangan kendali dengan diri kita, perasaan kita, dan kemampuan kita untuk berpikir logis dan menyelesaikan masalah. Obsesi seperti ini biasanya dikendalikan oleh rasa takut.

Ada banyak sekali obsesi yang bisa memberikan dampak buruk bagi kita, tapi hanya ada satu cara untuk menghentikannya. “Cara terbaik untuk menghentikan obsesi adalah dengan mendatangi akal sehat kita,” jelas Lancer singkat.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved