Berita Banjarbaru
Tak Lagi Jadi Keluhan Orang, Pabrik Tahu Pertama di Banjarbaru Ini Manfaatkan Limbah untuk Pertanian
Berbeda dengan pengolahan limbah tahu di tangan Andi Subiyanto. Limbah tahu justru dimanfaatkan untuk keperluan lain tanpa dibuang.
Penulis: Milna Sari | Editor: M.Risman Noor
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARBARU - Permasalahan limbah tahu sudah bukan hal baru di Kota Banjarbaru. Air sungai yang berbau akibat limbah tahu kerap dikeluhkan warga.
Bahkan dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Banjarbaru juga kerap menerima laporan warga terkait bau limbah pabrik tahu yang meresahkan.
Namun berbeda dengan pengolahan limbah tahu di tangan Andi Subiyanto. Limbah tahu justru dimanfaatkan untuk keperluan lain tanpa dibuang.
Andi adalah pemilik pabrik tahu Guntung Payung yang merupakan pabrik tahu pertama di Banjarbaru dari tahun 1965.
Andi sendiri merupakan generasi ketiga pemegang pabrik tahu Guntung Payung.
Baca juga: Bupati Tapin Arifin Arpan Akui Sinyal Internet di Hatungun Minim, Promosi Pertanian Jadi Rendah
Baca juga: Manfaatkan Ulat Maggot, Dinas LHP HST Budidaya Ikan Nila dan Gurame Sistem Bioflok
"Masalah limbah tahu ini memang kerap jadi keluhan tetangga pabrik tahu, makanya kita berpikir keras bagaimana agar limbah tahu bukan merepotkan justru menguntungkan," ujarnya Jumat (8/7/2022).
Andi pun memilih untuk mengembangkan ternak sapi berbagai jenis, dari jenis Egon perawakan hampir 1 ton per ekor, simental, limosin dan juga sapi bali. Sapi itu tidak hanya mengkonsumsi rumput gajah yang dirinya tanam depan rumah, juga ampas tahu.
Sementara untuk air limbah disiramkan ke perkebunan miliknya berupa tanaman mentimun, kacang panjang dan juga terong. Serta tanaman yang lain.
"Justru hasilnya malah bagus, tanaman jadinya lebih subur dan ampas tahu untuk ternak itu sudah bukan hal baru lagi," ujarnya.
Pada generasi pertamanya jelas Andi perebusan tahu dilakukan menggunakan secara manual berbahan bakar kayu, kemudian penggilingan dengan perantara batu, untuk menghancurkan kedelai.
Penggunaan kayu bakar langsung dibawah tungku ada kelemahan, karena masih ada bau di hasil produksi, lantaran asap yang menghampiri tahu putih itu.
"Penggilingan menggunakan batu, memakan waktu lama," ujarnya.
Kemudian, generasi kedua sang Ayah, Sobari merubah pola itu dengan mengandalkan mesin diesel, walaupun cukup menyingkat waktu. Tetapi, biaya cukup besar, karena biaya bahan bakar diesel agak lumayan.
Nah, ditahun 2010 lalu, produksi tahu keluarga besarnya ini sempat terhenti, karena saat itu bahan baku sulit didapat, dan pelanggan juga beralih.

Tak ingin nama besar tahu Guntung Payung hilang begitu saja, banyaknya persaingan sekarang ini.
Andi Subiyanto melalui nama Bigas diambil dari kata Sehat arau Wigas (Bahasa banjar, Red) ditahun 2021 lalu, kembali produksi tahu dengan peralatan yang cukup modern.
Dari perebusan menggunakan ketel uap menggunakan kayu bakar, hanya membutuhkan waktu 5 menit dalam 10 kilogram kedelai saat perebusan.
"Alhamdulillah, sudah ada nama, kami tidak kesulitan dalam pemasaran," jelasnya.
Apa yang membedakan, tahu Guntung Payung begitu dikenal, Andi menjelaskan, karena rasa yang dihasilkan berbeda, lantaran air digunakan untuk perebusan berbeda dari sumber mata air. Terlebih, kawasan ini banyak guntung atau sumber air, sehingga tidak sulit dalam hal air.
"Air disini cukup jernih, dan rasa membedakan dengan air yang lain," jelasnya. (Banjarmasinpost.co.id / Milna Sari)