Kisah Perjuangan Warga Transmigrasi di Jejangkit Batola, Ada yang Bertahan Ada yang Menyerah

Kalimantan Selatan merupakan salah satu wilayah yang menjadi tujuan transmigran, khususnya dari Jawa.

Editor: Eka Dinayanti
Dok. Kementerian Pertanian
Pertanaman Padi Varietas Inpara 2 di lahan rawa Desa Jejangkit, Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala 

BANJARMASINPOST.CO.ID, MARABAHAN - Tanggal 12 Desember tiap tahunnya dijadikan Hari Bakti Transmigrasi.

Kalimantan Selatan (Kalsel) sendiri merupakan salah satu wilayah yang menjadi tujuan transmigran, khususnya dari Jawa.

Salah satu yang menjadi pusat transmigran adalah Baritokuala (Batola).

Di sini ada sejumlah kawasan yang menjadi titik berlangsungnya program transmigrasi.

Bahkan, program serupa dengan sebutan berbeda, sudah berjalan sejak masa kolonial Belanda pada 1938 silam.

Berbagai cerita perjuangan menjadi warga transmigrasi di Batola pun cukup beragam.

Mulai dari yang sukses, bertahan dengan kondisi yang serba kekurangan, hingga pulang ke daerah asal.

Diceritakan Darso, warga transmigrasi yang datang ke Batola pada 1983, dirinya bertahan sebagai warga pendatang di Kalsel dengan penuh perjuangan.

Alasannya, ia cukup terkejut dengan disambut lahan gambut yang notabene sulit untuk dipakai bercocok tanam dan harus beradaptasi terlebih dahulu.

“Tak kalah bikin geleng kepala, sekitar kita mukim adalah hutan, jalan juga masih baru dibuka dan sangat memprihatinkan,” terang Darso, Selasa (13/12).

Meski demikian, ia tetap bertahan untuk membuka usaha dengan bercocok tanam.
Mulai dari sayur-mayur, padi, karet, hingga kini sukses menjadi juragan pengepul karet.

Darso sendiri merupakan satu dari 350 orang yang dulu ditempatkan di Kawasan Transmigrasi SP 1, Kecamatan Marabahan, Batola.

Baca juga: Panen Raya Perdana 20 Hektare, Petani Batola Binaan MPPI Tumbuhkan Optimisme Kemandirian

Setelah turut berjuang memaksimalkan lahan dan bantuan pemerintah melalui program transmigrasi, ia mampu melewati masa-masa kelam tersebut.

Sedangkan sekitar 200 orang lainnya banyak yang kembali ke daerah asal, karena tidak mampu bertahan dan beradaptasi.

“Jadi saat mereka ingin kembali pulang ke kampung halaman, banyak lahan yang mereka punya dijual dan ditinggalkan,” ujar mantan Kepala Desa Sido Makmur ini.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved