Serambi Ummah

Bagaimana Pedagang Makanan Mengambil Untung yang Baik, Ini Kata Pimpinan Ponpes Al Baladul Amin HSS

Berikut cara mengamabil keuntungan yang wajar sebagai pedagag makanan, ini kata Ustadz Fakhmi MPd, pimpinan Ponpes Al Baladul Amin

Editor: Irfani Rahman
Capture Youtube BPost
Ilustrasi Pedagang makanan . Bagaimana cara mengambil untung dalam berdagang, ini kata Ustadz Fakhmi MPd, pimpinan Ponpes Al Baladul Amin 

BANJARMASINPOST.CO.ID - BEBERAPA waktu lalu, seorang netizen yang membagikan pengalaman tak mengenakkan di sebuah rumah makan. Merasa menu yang dipesan biasa saja, dia kaget karena harga yang harus dibayar kelewat mahal dan tidak wajar. Merasa dicurangi, netizen itu pun meluapkan kekesalan lewat postingan di sosial media. Sekaligus mengingatkan masyarakat yang ingin makan ke tempat tersebut.

Halalkah jual beli ketika satu pihak tidak ikhlas? Bagaimana transaksi yang sesuai syariat Islam? Ustadz Fakhmi MPd, pimpinan Ponpes Al Baladul Amin di Kecamatan Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), memberikan penjelasan.

Menurut Ketua FKPP dan FKDT HSS ini, jual beli harus dilakukan secara rida dan sukarela.

“Dan tidak ada unsur paksaan,” ujar Wakil Ketua MUI Telaga Langsat ini. Hal itu sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah An Nisa ayat 29, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Bagaimana adab jual beli yang sesuai hukum Islam? Berdasar ayat tersebut, tidak halal jual beli bila tidak ada sepakat kedua belah pihak.

Baca juga: Terkejut tak Batalkan Salat, Ini Penjelasan Direktur Pondok Pesantren MBS Nurul Amin Alabio

Baca juga: Kejadian Mengagetkan Bikin Salat Sri Terganggu, Ini yang Ia Lakukan

Soal adab jual beli dalam Islam, selain toleransi dalam harga, imbuh ustadz Fakhmi, juga dilakukan dengan akhlak yang baik, memberi salam dan menjawabnya serta jujur dan amanah.

Lantas, bagaimana pembeli yang merasa kecewa, kemudian menumpahkan kekesalan lewat medsos? Fakhmi mengutip QS Al-Ma’arij ayat 19-20: Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.

Dalam ayat tersebut, jelas dia, mengandung makna bahwa berkeluh kesah adalah hal yang manusiawi. Sah-sah saja menumpahkan isi hati di media sosial. Namun, perlu diketahui batasan yang jelas, mana yang harus di-share dan mana yang tidak. Apalagi sampai berdampak kepada usaha orang lain. “Lebih baiknya komplain langsung, dipertanyakan kepada penjualnya secara kekeluargaan dan privasi. Siapa tahu salah hitung atau sebab lain,” tutur ustadz Fakhmi.

Namun, sambungnya, bila kasusnya berupa penipuan, hal semacam itu boleh saja disebarkan, agar tidak menimbulkan lebih banyak korban. Soal pemilik warung atau rumah makan yang mematok harga mahal, tak wajar dan semena-mena, demi meraih untung, ustadz Fakhmi menegaskan hal itu tidak boleh dilakukan.

Dalilnya, Surah An Nisa ayat 29 yang disebutkan sebelumnya. Selain itu,”Dan diharamkan pematokan harga meskipun dalam kondisi inflasi tinggi.“ (Ibnu Qudâmah al-Maqdisi).

Sebagai muslim, menyikapi hal demikian, ada dua sisi, penjual dan pembeli. Sebagai pedagang hendaknya mengambil keuntungan sewajarnya, ada keuntungan,dan pembeli tidak dirugikan.

Nabi Muhammad SAW merupakan pedagang yang menjadi teladan, karena senantiasa memegang prinsip kejujuran dan keadilan dalam bertransaksi dengan para pembeli. “Rasulullah SAW selalu mengikuti prinsip-prinsip perdagangan yang adil dalam tiap transaksi. Beliau juga selalu menasihati para sahabat untuk melakukan hal yang sama,” beber ustadz Fakhmi.

Bagaimana hukumnya bagi pedagang dan pembeli yang terlibat niaga namun berakhir kecewa? Bila ada unsur kesengajaan di dalamnya, maka hukumnya haram dan berdosa bagi pelaku. Sebab prinsip jual beli adalah kejujuran kedua belah pihak. “Bila tidak disengaja, untuk mencegah kekecewaan kita dapat melakukan khiyar (memilih yang terbaik) dengan akad,” ucap ustadz Fakhmi.

Khiyar bisa secara khyar majlis. Yaitu penjual dan pembeli membatalkan akad selama kedua belah pihak masih bertatap muka. Kemudian khiyar aib, ketika barang yang dibeli cacat, pembeli bisa membatalkan atau tak meneruskan akadnya. Dengan catatan, sebelumya tak tahu kalau barang yang dibeli ada cacat. “Juga bisa dengan khiyar syarat, sehingga sudah jelas hak pembeli dan penjual,” pungkas ustadz Fakhmi. (han)

Pajang Daftar Harga Agar Transparan

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved