Religi

Harus Bisa Menahan Diri, Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalsel Timbulkan Banyak Kemudaratan

Dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saat ini menghantui warga Kalimantan Selatan.

Penulis: Muhammad Tabri | Editor: Edi Nugroho
BPDB Balangan untuk Banjarmasinpost.co.id
Ilustrasi: Hingga akhir September luasan lahan dan hutan yang terbakar di Kabupaten Balangan sekitat 80 hektar. Luasan lahan yang terbakar meliputi daerah rawa dan lahan perkebunan milik warga. 

BANJARMASINPOST.CO.ID- Dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saat ini menghantui warga Kalimantan Selatan.

Kabut asap menyelimuti sejumlah kawasan dan menyebabkan peningkatan kasus ISPA di masyarakat. Selain itu, terjadi kerusakan rumah, fasilitas umum, sekolah, hingga perkebunan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak hanya urusi fatwa halal dan haram terhadap bahan pangan. Tetapi sebagai khadimul ummah (pelayan umat) MUI juga ikut menangani isu kerusakan lingkungan. Termasuk pemanfaatan hutan dan lahan agar tidak merugikan orang lain.

Tertuang dalam fatwa MUI Nomor 30 Tahun 2016 tentang hukum pembakaran hutan dan lahan serta pengendaliannya dengan enam ketentuan hukum.

Baca juga: Daftar Momentum Istimewa Rabiul Awal Bulan Ketiga dalam Kalender Hijriah, Kelahiran Nabi

Baca juga: Saatnya Teladani Kiprah Nabi, Rabiul Awal Bulannya Rasulullah

MUI menyatakan bahwa perilaku pembakaran hutan dan lahan hukumnya haram. Pasalnya, kerusakan demi kerusakan alam yang diperbuat manusia tidak lain berasal dari keserakahan.

Ketua MUI Kabupaten Tapin, KH Hamdani, turut menyayangkan maraknya karhutla. Bahkan hampir tiap hari tanpa mengenal waktu, entah itu pagi, siang, maupun malam.

Menurut dia, kondisi alam yang tengah dilanda kemarau dan adanya isu el nino juga bukanlah penyebab utama. Kesadaran dan kepedulian masyarakat harus lebih besar untuk menjaga alam secara bersama-sama.

“Perilaku petani tradisional yang biasa membakar guna membuka lahan bercocok tanam lebih luas memang belum bisa ditinggalkan,” ucap Hamdani.

Cara ini dinilai efektif, karena lebih cepat dalam membersihkan semak yang kering, serta murah dalam hal biaya. Tinggal dinyalakan, api cepat melalap rumput maupun semak belukar.

Nahasnya, pada musim kering biasanya api menjadi tak terkendali. Sekalipun dijaga beberapa orang, di lahan terbatas, tidak menutup kemungkinan api meluas. Bahkan percikan bara yang terbawa angin juga menimbulkan titik api yang baru di lain tempat.

Baca juga: Saatnya Teladani Kiprah Nabi, Rabiul Awal Bulannya Rasulullah

Hamdani mengimbau, mereka yang terbiasa membakar lahan harus menahan diri, meskipun tidak ada biaya besar untuk membuka lahan. Sebab, kondisi alam tengah kemarau, sehingga berpotensi besar menyebabkan kebakaran. Kedua, karena secara fatwa sudah dilarang berkenaan dampaknya yang merugikan orang lain.

Selain itu, peran pemangku kepentingan dan pengawasan juga perlu lebih digencarkan. Seperti sosialisasi, upaya mencari solusi, hingga penegakan hukum bagi yang melanggar.

Terkait pengrusakan alam dengan sengaja, Hamdani menyebutkan ada banyak dalil yang mengatur, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadis. “Contohnya Nabi Muhammad melarang umatnya buang hajat sembarangan, seperti di tempat berteduh, lubang, jalan, atau sumber air yang dimanfaatkan orang,” tutur Hamdani.

Perilaku itu bisa dilakukan siapa saja dan tidak diketahui. Namun dampak yang dirasakan orang lain pasti tidak menyenangkan dan biasanya pasti merugikan.

Serupa itu, membakar lahan dengan sengaja bisa saja merugikan orang lain secara materil. Karena harta bendanya turut terbakar atau kesehatan terganggu akibat kabut asap, hingga terkendalanya proses belajar mengajar di sekolah.

“Satu hal yang juga penting, jangan pernah dilupakan dalam berusaha, yakni mencari keberkahan. Bukan hasil yang besar namun memudharatkan orang lain,” pesan Hamdani. (Banjarmasinpost.co.id/Muhamamad Tabri)

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved