Pemilu 2024

Fakta Sosok 3 Tokoh Pakar Hukum Jadi Pemeran Film Dirty Vote, Ceritakan Soal Kecurangan Pemilu 2024

fakta tiga sosok tokoh pakar hukum yang berperan dalam film dokumenter Dirty Vote. Mereka Feri Amsari, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar.

|
Editor: Murhan
X/Dirty Vote
Feri Amsari, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar pemeran di Film Dirty Vote. 

BANJARMASINPOST.CO.ID - Berikut ini fakta tiga sosok tokoh pakar hukum yang berperan dalam film dokumenter Dirty Vote.

Diketahui, Film Dirty Vote belum lama ini menjadi trending di Twitter (x).

Sementara, Film Dirdy Vote disebut menceritakan tentang kecurungan pemilu 2024.

Film ini ditayangkan perdana melalui kanal rumah produksi WatchDoc di Youtube Dirty Vote pada Minggu 11 Februari 2024 pukul 11.00 WIB, bertepatan hari pertama masa tenang Pemilu.

Diketahui, film dokumenter itu menampilkan tiga orang pakar hukum tata negara.

Mereka adalah Feri Amsari, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar.

Ketiganya memaparkan tentang penyimpangan yang terjadi dalam berbagai hal terkait proses Pemilu di dalam Indonesia yang menerapkan praktik demokrasi.

Baca juga: Link Hasil Quick Count Pilpres 2024, Hitung Cepat Suara Anies, Prabowo dan Ganjar 14 Februari

Berikut sosok ketiga pakar hukum yang menjadi bintang film Dirty Vote.

Feri Amsari

Feri Amsari adalah pria kelahiran Padang, Sumatera Barat pada 2 Oktober 1980.

Ia adalah pakar hukum tata negara, aktivis hukum, dosen, dan akademikus Indonesia dari Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Feri juga aktif sebagai peneliti senior dan mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas sejak 2017-2023.

Pria lulusan William & Mary Law School, Amerika Serikat ini juga aktif menulis tentang hukum, politik, dan kenegaraan di berbagai media cetak, baik lokal maupun nasional.

Beberapa tulisannya telah dimuat pada harian Kompas, Padang Ekspres, Singgalang, Haluan, dan berbagai media cetak lainnya.

Feri pernah meraih Juara II Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Tingkat Universitas Andalas.

Sebagai aktivis, ia tercatat pernah menjabat Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa merangkap Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas sejak 2002 hingga 2003.

Feri Amsari, satu dari tiga dosen yang ada di film Dirty Vote.
Feri Amsari, satu dari tiga dosen yang ada di film Dirty Vote. (Tangkapan Layar YouTube)

Selain itu, ia juga tergabung sebagai wartawan mahasiswa dan kemudian Dewan Redaksi Buletin Gema Justisia Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Ia pernah menjabat Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Pengenalan Hukum dan Politik (UKM PHP) Universitas Andalas sejak 2003 hingga 2004.

Bivitri Susanti

Berdasarkan laman resmi Jentera, Bivitri Susanti merupakan akademisi dan pakar hukum tata negara serta salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

Bersama PSHK, perempuan kelahiran 5 Oktober 1974 ini menghasilkan berbagai penelitian dan produk, seperti penelitian tentang Bikameral, perpustakaan Daniel S. Lev, pelatihan perancangan peraturan perundang-undangan, dan juga parlemen.net.

Bivitri dan rekan-rekannya di PSHK mendirikan sekolah hukum bernama Jentera.

Bivitri tercatat pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.

Bivitri adalah penerima Anugerah Konstitusi M. Yamin dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas.

Selain itu, penghargaan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) sebagai Pemikir Muda Hukum Tata Negara pada 2018.

Ahli Tata Hukum Negara, Bivitri Susanti dalam sebuah acara diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/11/2017).
Ahli Tata Hukum Negara, Bivitri Susanti dalam sebuah acara diskusi di Menteng, Jakarta Pusat,
Sabtu (18/11/2017). (KOMPAS.com/Nabilla Tashandra)

Secara akademik dia memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1999.

Bivitri kemudian melanjutkan pendidikan dan meraih gelar Master of Laws di Universitas Warwick, Inggris, pada 2002, dengan predikat “with distinction”, dengan beasiswa The British Chevening Award.

Kemudian ia melanjutkan studi ke jenjang doktoral di University of Washington School of Law, Amerika Serikat, yang saat ini masih dalam tahap penyelesaian.

Bivitri dikenal aktif dalam kegiatan pembaruan hukum melalui perumusan konsep dan langkah-langkah konkrit pembaruan, serta dalam mempengaruhi langsung penentu kebijakan.

Zainal Arifin Mochtar

Zainal merupakan dosen, sekaligus pakar Hukum Tata Negara Indonesia serta aktivis yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan di Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Kini, ia menjabat sebagai Ketua Departemen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) FH UGM.

Pria kelahiran 8 Desember 1978 juga merupakan lulusan Fakultas Hukum UGM tahun 2003.

Dia beberapa kali tampil di acara televisi nasional, bahkan pernah dipercaya menjadi moderator dalam debat Capres dan Cawapres pada 2014 lalu.

Pada awalnya Zainal ingin berkuliah di Jurusan Teknik Geologi UGM namun 2 kali gagal dalam mencoba membuat ia melanjutkan studi di jurusan Hukum.

Setelah menyelesaikan S1, Zainal mengambil gelar master hukumnya dari Northwestern University, Amerika Serikat, pada 2006.

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar, seusai menjadi narasumber dalam diskusi di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (15/9/2015).
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar, seusai menjadi narasumber
dalam diskusi di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (15/9/2015). (kompas.com)

Di balik kesuksesannya, Zainal pernah menjadi bahan cibiran publik.

Peristiwa itu terjadi saat dia memandu debat Capres dan Cawapres pada 2014 lalu, di mana dia melarang penonton untuk bertepuk tangan sebelum dipersilakan.

Bergabung Dalam Film Dirty Vote

Feri Amsari, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar tampil memaparkan tentang penyimpangan yang terjadi dalam berbagai hal terkait proses Pemilu di dalam Indonesia yang menerapkan praktik demokrasi.

Pembuatan film Dirty Vote merupakan hasil kolaborasi lintas lembaga sipil.

Menurut Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) sekaligus produser, Joni Aswira, dokumenter itu turut memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil.

Biaya produksi film Dirty Vote, kata Joni, dihimpun melalui pengumpulan dana (crowd funding), sumbangan individu, dan lembaga.

“Biayanya patungan. Selain itu, Dirty Vote juga digarap dalam waktu yang pendek sekali sekitar dua minggu, mulai dari proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis. Bahkan lebih singkat dari penggarapan End Game KPK (2021),” kata Joni.

Sejumlah lembaga yang berkolaborasi dalam film itu adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, YLBHI, dan WatchDoc.

Ikuti dan bergabung di saluran Whatsapp Klik:  Banjarmasinpost.co.id

(Banjarmasinpost.co.id/Tribun Sumsel)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved