Berita Banjarmasin

Tolak Tapera, Kaum Buruh di Kalsel Bakal Gelar Unjuk Rasa

Para buruh di Kalimantan Selatan yang tergabung dalam Aliansi Pekerja Buruh Banua (PBB) akanunjuk rasa tolak Tapera

Foto Dok BPost
Aliansi Pekerja Buruh Banua melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Kalsel.   

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Kaum buruh di Kalimantan Selatan menolak kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Mereka yang tergabung dalam Aliansi Pekerja Buruh Banua (PBB) dan bakal melakukan aksi unjuk rasa seperti yang dilakukan Partai Buruh di Jakarta pada 6 Juni mendatang.

“Kita juga kemungkinan besar akan menggelar aksi serupa, tapi tanggalnya masih harus kita bicarakan dengan kawan-kawan aliansi,” kata Presidium Aliansi PBB, Yoeyoen Indharto, Senin (3/6/2024).

Menurut Yoeyoen, kebijakan Tapera justru menjadi nestapa bagi kelas pekerja. Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kalsel ini menilai, potongan iuran sebesar 3 persen yang dikumpulkan hingga 20 tahun pun tak akan cukup membeli rumah.

“Bahkan untuk sekadar membayar uang muka, iuran yang terkumpul terasa hanya setetes air di padang pasir. Impian memiliki rumah menjadi seperti fatamorgana, terlihat dekat namun tak pernah terwujud,” tuturnya.

Selain itu, kata Yoeyoen, tidak ada satu klausul pun dalam PP Tapera yang menjelaskan bahwa pemerintah turut serta dalam menyediakan rumah bagi buruh.Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha.

“Pemerintah tidak menyisihkan anggaran dari APBN dan APBD. Jelas terlihat di sini, pemerintah berlepas tangan, sekedar sebagai pengumpul iuran,” ujarnya.

Baca juga: Lowongan Kerja Indofood Terbaru, Lulusan SMA, D3 hingga S1 Bisa Daftar, Cek Posisi Dicari

Baca juga: Lowongan Kerja Adaro Mineral, Lulusan SMA hingga S2 Bisa Daftar, Berikut Lokasi Penempatan

Yoeyoen menyebut, kebijakan potongan upah untuk Tapera ini menambah beban hidup para pekerja.

Terlebih, sudah ada berbagai potongan lain seperti Pajak Penghasilan, Jaminan Kesehatan, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Hari Tua, dengan total hampir 12 persen dari upah yang diterima.

Padahal, saat ini daya beli yang kian merosot 30 persen dan upah minimum yang terkikis oleh UU Cipta Kerja.

“Ini belum termasuk hutang koperasi atau perusahaan, jika buruh memilikinya, yang semakin membebani biaya hidup buruh,” tuturnya.

Di sisi lain, Yoeyoen menilai sistem anggaran Tapera juga membuka peluang besar untuk disalahgunakan. Sebab, Tapera bukan seperti sistem jaminan sosial dan bantuan sosial.

Jika jaminan sosial, dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah. Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah.

Belum lagi, narasi pemerintah yang terkesan memaksa pekerja menunaikan Tapera. Padahal, dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya dia bersifat sukarela, bukan memaksa.

“Sebuah tabungan idealnya lahir dari kesadaran dan keinginan individu untuk merencanakan masa depan, bukan dari kewajiban yang dibebankan. Ketika tabungan berubah menjadi paksaan, esensi dari menabung hilang, berganti menjadi beban yang menekan,” ujarnya.

(Banjarmasinpost.co.id/Muhammad Syaiful Riki)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved