Menengok Tragedi 40 Tahun Lalu

Tragedi Colombo 1978, Korbannya Hidup tapi Ada Peti Matinya

Penulis: Salmah
Editor: Didik Triomarsidi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hj Trimurti

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARBARU - Tragedi Colombo 1978 menjadi perhatian penting pemerintah RI yang kala itu dipimpin (alm) Presiden Soeharto. Penanganan cepat dilakukan dengan mengevakuasi korban meninggal dan memulangkan ke tanah air.

Menteri Agama di era itu, Alamsjah Ratu Prawiranegara juga datang ke Colombo, Srilangka, untuk menjemput jamaah yang selamat, hingga tiba di Bandara Kemayoran Jakarta.

Tentunya banyak keluarga jamaah haji di Kalsel yang panik atas kejadian itu. Seperti halnya (alm) H Moenirul Wathani yang tak bisa menahan kegalauan mengetahui anggota keluarganya menjadi korban.

H Moenirul adalah ayah dari Hj Trimurti. Menurut pihak keluarga, sang ayah begitu resah dan gelisah menantikan kabar terkini istrinya, anak, menantu, bibi mertua, sepupu dan kerabatnya.

Baca: 6 Fakta Jalan Raya Gubeng Surabaya Ambles 50 Meter, Pembangunan RS hingga Suara Gemuruh

Baca: Jalan Raya Gubeng Ambles, Rumahnya Mulai Berlubang, Warga Mengungsi & Minta Ganti Rugi

Baca: Jalan Gubeng Surabaya Ambles, Apakah Gedung BNI dan Elizabeth Juga Bakal Ambruk?

Baca: Parah! Jalan Gubeng Surabaya Ambles Sedalam 10 Meter, Warga Rasakan Gempa Jalan Langsung Menganga

Makam Syuhada Haji (wikipedia)

Kesedihan semakin bertambah tatkala peti-peti jenazah tiba di Kalsel. Keluarga besar H Moenirul harus menerima takdir dan semua anggota keluarga meninggal dunia, termasuk 'Hj Murti' yang namanya ada tertulis di salah satu peti jenazah.

Peti atas nama Hj Murti itu turut dikuburkan bersama peti-peti jenazah lainnya di pemakaman.

"Zaman dulu kan belum ada tes DNA, makanya ada kekeliruan identifikasi jenazah sehingga nama saya ditulis sebagai korban meninggal. Padahal ayah sempat ragu ketika melihat jasad dalam peti atas nama saya dan menyatakan secara fisik itu adalah jenazah ibu saya, istri beliau," terang Hj Murti.

H Moenirol meyakini itu jenazah istrinya karena dari bentuk rambut mirip yaitu panjang berkepang dua. Sedangkan anaknya Hj Murti saat muda itu rambutnya pendek.

Namun kekeliruan itu akhirnya berakhir setelah paman dari Hj Murti yang tinggal di Jakarta memberi kabar melalui telepon interlokal ke Banjarmasin, sehingga diketahui pihak keluarga bahwa Hj Murti masih hidup.

Sehari setelah pemakaman jenazah, pada Minggu 17 November 1978 para korban selamat dipulangkan dari Jakarta ke Banjarmasin.

Begitu sukacita keluarga saat menjemput Hj Murti di bandara. Namun karena masih belum sembuh dari luka-luka maka ia pun harus menjalani perawatan 3 bulan di RSUD Ulin.

Secara kebetulan, H Moenirul yang saat itu Kepala Bagian Cipta Karya Kanwil PU Kalsel kemudian dipercaya pemerintah daerah untuk merancang monumen untuk Makam Syuhada Haji.

Menurut Hj Murti, ayahnya membuat monumen itu berdasar bentuk ekor pesawat. Monumen setinggi lebih 5 meter itu masih kokoh berdiri dengan tulisan nama-nama korban meninggal pada tragedi tersebut.

Makam Syuhada Haji ini sebenarnya bukan hanya ada di Kalsel tapi di Jatim pun, tepatnya di Blitar, karena empat tahun sebelum tragedi Colombo 1978 juga pernah ada kejadian di negara sama pada 1974.

Bagaimana musibah pada 1974? Mari kita kilas balik pada tulisan berikutnya.

(banjarmasinpost.co.id/salmah saurin)

Berita Terkini