Editor : Murhan
BANJARMASINPOST.CO.ID - Pandemi Virus Corona terjadi di dunia, termasuk Indonesia. Ini melahirkan sejumlah keputusan ulama. Satu di antaranya adalah jarak antar jemaah yang ditetapkan satu meter selama salat berjamaah.
Beragam pertanyaan pun dilontarkan masyarakat, apakah bolah Salat Berjamaah dengan jarak shar 1 meter demi mencegah Virus Corona atau Covid-19?
Hal ini rupanya jadi perhatian Ustadz Abdul Somad. Sebab diketahui dalam Hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan HR. Bukhari Nomor 723 dan HR Muslim Nomor 433 dijelaskan lurusnya shaf merupakan keempurnaan salat.
'Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Luruskanlah shaf-shaf kalian karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat'.
• 2 Lafadz Doa Buka Puasa Nisfu Syaban 2020, Simak 5 Adab Saat Berbuka
• Ustadz Dasad Latif Jalani Rapid Test Seusai Kontak Pasien Covid-19, Curhat pada Ustadz Abdul Somad
Begitu juga dengan Hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan HR Muslim Nomor 432.
Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengusap pundak-pundak kami ketika shalat dan berkata, 'Luruskanlah dan janganlah berselisih, sehingga berselisihlah pula hati kalian. Hendaklah orang-orang yang dewasa dan berakal (yang punya keutamaan) dekat denganku (dekat dengan imam), lalu diikuti orang-orang setelah mereka, lalu orang-orang setelah mereka'.
"Pak Ustadz, apa hukumnya memberi jarak shaf salat satu meter dalam salat berjamaah di saat wabah?," ujar Ustadz Abdul Somad mengawali postingannya.
Ustadz Abdul Somad menjelaskan soal makna sauf sufu atau meluruskan shaf ketika salat berjamaah.
Dijelaskannya, dalam salat berjamaah shaf harus rapat.
"Sauf sufu, luruskan shaf. Makna sauf sufu, satu-lurus, makna sauf sufu-rapat, qodamun bi qodamin-kaki rapat dengan kaki, mankibun bi mankibin-bahu dengan bahu," jelas Ustadz Abdul Somad.
"Tapi karena tak bisa rapat, karena kata para dokter ini wabah penyakit hama corona ini bisa melekat di kain, dia tidak hanya (melekat) di tangan, tapi bisa di kain, bahkan di kain ini dia bisa sembilan jam, maka sajadah-sajadah di masjid di gulung, itulah yang dipakai oleh sebagian ulama membuat jarak satu meter," tambahnya.
Terlepas dari fatwa sebagian ulama tersebut, Ustadz Abdul Somad mengakui memiliki pendpat sendiri dalam salat berjamaah.
Dirinya menegaskan lebih memilih salat di rumah ketimbang salat berjamaah di masjid atau mushala.
"Tapi saya pribadi kalau untuk yang sekarang ini, tak tahu lagi kita yang entah mana yang membawa wabah, entah mana yang tidak. Datang pulang dari luar kota, ya udah bercampur aduk ini sekarang," jelas Ustadz Abdul Somad.
Keputusannya diungkapkan Ustadz Abdul Somad merujuk pada Hadist yang diriwayatkan HR al-Bukhari.
Hadist tersebut berisi perintah Nabi Muhammad SAW ketika seseorang menghadapi wabah penyakit.
"Yang saya pakai adalah hadist, wafirramina madjidzu mi kamaa tafirru minal'a shad, 'larilah engkau dari orang kena penyakit menular seperti engkau lari dari singa," ungkap Ustadz Abdul Somad.
"Kalau udah singa tak ada semeter-dua meter. sekarang ini salat di rumah," jelasnya diakhir tayangan.
Wabah Penyakit Zaman Rasulullah
Hal serupa disampaikan oleh Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Perintah Rasulullah terkait penyakit menular yang berbahaya di antara penyakit menular yang berbahaya adalah hansen (kusta atau lepra).
Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam penyakit ini sudah dikenal.
Penderita penyakit ini dapat dikenali dari lesi (area jaringan yang telah rusak karena cedera atau sakit) pada kulitnya sehingga bisa dilihat dari luar.
Untuk mencegah dari terluar penyakit ini Rasulullah memerintahkan untuk menjauh dari si penderita.
Atau dengan kata lain agar dilakukan isolasi terhadap penderita agar tidak menular kepada mereka yang sehat.
Perintah tersebut dapat dilihat pada tiga penggalan hadits berikut ini:
وفر من المجذوم المصاب بالجذام كما تفر من الأسد
Artinya,“Larilah dari orang yang terkena lepra sebagaimana engkau lari dari singa” (HR al-Bukhari).
لا تديموا النظر إلى المجذومين
Artinya, “Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit lepra” (HR al-Bukhari).
لا توردوا الممرض على المصح
Artinya: "Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat" (HR al-Bukhari).
"Virus ini sebagaimana penyakit lepra bersifat menular tetapi tingkat bahayanya jauh lebih besar karena dapat mematikan dalam waktu singkat," ungkap Muhammad Ishom dikutip dari www.nu.or.id.
"Penyebarannya sangat cepat khususnya lewat kontak antara penderita dengan orang lain, sementara obatnya belum ditemukan. Jadi virus Corona ini lebih berbahaya daripada penyakit lepra," tambahnya.
Jika penderita lepra dapat dilihat dari luar, maka penyakit Corona hanya dapat dipastikan lewat uji laboratorium sehingga tidak mudah dikenali.
Umumnya orang yang terkena virus ini baru masuk ke rumah sakit pada hari ketujuh.
Dari hari pertama hingga keempat orang-orang yang terkena penyakit ini masih bisa beraktivitas sebagaimana orang sehat, karena memang pada masa inkubasi fase pertama ini mereka tidak merasakan sakit.
"Keadaan itulah yang menyulitkan untuk menentukan siapa di antara sekumpulan orang banyak, seperti jamaah shalat Jumat, yang sebenarnya telah terkena penyakit Corona," jelasnya.
Apalagi lanjutnya, sebagian besar dari mereka, termasuk pengurus masjid, bukanlah orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan yang memungkinkan melakukan deteksi dini.
Meniadakan Shalat Jumat
Menyadari akan kesulitan tersebut, maka para ulama di negara-negara tersebut di atas melakukan ijtihad dengan mengambil kebijaksanaan meniadakan shalat Jumat dan sebagai gantinya diperintahkan shalat Dhuhur di rumah masing-masing.
Hal ini mereka tempuh karena sebagai pemimpin mereka berkewajiban menghomati dan melindungi hak asasi manusia di antara umatnya, yakni hak atas keselamatan jiwa (hifdhun nafs) yang diamanatkan oleh syariat.
Allah dalam firman-Nya di dalam Al-Qur’an dengan tegas melarang manusia berbuat kerusakan di atas bumi sebagaimana ayat berikut:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَاۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Artinya, “Dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.” (QS al-A’raaf: 85)
Allah adalah Dzat yang menghidupkan manusia dan memberinya kesehatan agar mereka dapat melaksanakan dengan baik kewajiban-kewajibannya, yakni beribadah hanya kepada-Nya.
Bagi para ulama, membiarkan keselamatan jiwa manusia terancam oleh virus Corona dengan membolehkan mereka berkumpul dalam jumlah besar dalam ruang dan waktu yang sama adalah sebuah tindakan yang bisa menimbulkan kerusakan karena mengancam keselamatan jiwa.
Hal itu tidak patut dilakukan oleh para ulama yang notabene adalah orang-orang beriman.
Di sisi lain, Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk menjalankan shalat Jumat dan hal ini hanya bisa dilakukan secara berjamaah.
Di sinilah permasalahannya yang menuntut kearifan para ulama.
Mereka lalu berijitihad dengan memperhatikan hadits Rasulullah sebagai berikut:
خیر الأمور أوساطها
Artinya, “Sebaik-baik perkara adalah sikap tengah.” (HR. Ibn As-Sam’ani) Mengambil jalan tengah itulah yang kemudian dilakukan para ulama.
Kewajiban shalat Jumat tidak diabaikan, hanya diganti dengan shalat Dhuhur sebab aturan fiqih memang demikian, yakni jika shalat Jumat terhalang untuk dilaksanakan, maka harus diganti dengan shalat Dhuhur.
"Jadi dalam hal ini tidak ada perintah dan larangan Allah yang dilanggar. Di sisi lain, hak kaum Muslimin untuk tidak terancam keselamatan jiwanya dipenuhi dengan meniadakan shalat Jumat demi menghindari tertular penyakit Corona," jelas Muhammad Ishom.
Upaya menghindari ini dijelaskan Muhammad Ishom harus lebih diutamakan sesuai dengan kaidah fiqih, yakni 'Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih' (menghindari kerusakan didahulukan daripada melakukan kebaikan).
Kesimpulannya, fatwa ulama meniadakan shalat Jumat sebagaimana diuraikan di atas telah sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
"Dengan kata lain fatwa itu dikeluarkan justru karena rasa takut mereka kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka sadar betul akan besarnya tanggung jawab di hadapan Allah atas kemaslahatan umat dengan lebih mendahulukan upaya menghindari kerusakan (mafsadat) daripada mencari kebaikan (mashalih)," jelas Muhammad Ishom.
"Jadi tidak benar para ulama itu telah menempatkan virus Corona (Covid-19) lebih tinggi di atas tuhannya. Na’udzu billahi min dzalik," tutupnya.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Ustadz Abdul Somad Jelaskan Hukum Salat Berjamaah dengan Jarak Shaf Satu Meter Antar Jemaah,