Baim ingin bosnya hari itu tampil keren dengan sandal yang bagus.
“Ibu dikasih sandal juga nggak?, “ tanya Baim.
Redi menolak namun Baim terus mencercanya.
“Loh engga dikasih? Dikasih ngga ibu?, “ tanyanya lagi.
“Ya boleh lah, “ kata Redi.
Banyak sekali barang yang dibelikan oleh Baim untuk Redi dan istri, terutama bahan pokok untuk menyambung hidup mereka.
Terungkap identitas Redi, rupanya dia adalah seorang kakek tua yang usianya hampir seratus tahun.
Redi hidup di masa penjajahan Belanda.
“Kurang lebih seratus tahun umurnya. Ya sebelum ada Presiden, masih jaman Belanda, masih Raja, “ tutur Redi.
Sejak dulu, Redi ternyata tinggal di Pesisir. Bahkan saat masa-masa di kepemimpinan Presiden Soekarno pun dia tinggal di sana.
Perlahan Redi yang suka berbicara dengan khas bahasa Jawa itu bocorkan kisah pelik kehidupannya.
Dia sudah berprofesi menjadi pemulung semenjak bujangan.
Penghasilannya dari memulung diungkap ke Baim, di mana dalam seminggu dia hanya bisa mendapatkan uang Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu.
“Nasib jadi pemulung, dagang gagal. Pokoknya penghasilannya dari pemulung, “ aku Redi.
Tak disangka, ada tekat tersembunyi di balik badan renta Redi. Selama ini dia bersikeras untuk bisa mengkuliahkan anak dan cucu.