Sistem Presidensial dan Dukungan Parpol
MENJELANG Pemilihan Presiden tahun 2014, mari kita sama-sama lebih memahami apa sebenarnya
MENJELANG Pemilihan Presiden tahun 2014, mari kita sama-sama lebih memahami apa sebenarnya sistem presidensial itu. Pada kesempatan kali ini, misalnya, kita ulas jenis-jenis sistem presidensial.
Berdasarkan besarnya dukungan parlemen terhadap presiden, sistem presidensial terbagi dua jenis: pertama, Split-Party Government, yaitu pemerintahan presidensial yang tidak didukung oleh mayoritas anggota partai yang sama dengan presiden di parlemen. Karena dukungan minoritas anggota parlemen tersebut, jenis sistem pemerintahan yang demikian disebut divided government. Partai pemerintah atau koalisinya (the rulling party) menguasai eksekutif, sedangkan partai non-pemerintah atau koalisinya (the opposing party) menduduki mayoritas kursi di parlemen.
Konsep ini tidak hanya disematkan kepada pemerintah nasional atau federal, namun dapat pula terjadi pada level provinsi atau, dalam sistem federal, pada negara bagian. Presiden dengan dukungan politik minoritas demikian disebut pula minority presidential.
Dua, Single-Party Government, adalah pemerintahan presidensial yang didukung oleh mayoritas anggota partai yang sama dengan presiden di parlemen. Karena dukungan mayoritas anggota parlemen tersebut, jenis sistem presidensial yang demikian disebut pula majoritarian government.
Terbentuknya dua sistem presiden di atas tidak jarang dipengaruhi oleh pilihan rakyat. Dalam masyarakat yang terdidik, pemilih justru dengan sengaja menjatuhkan pilihan partai yang berbeda antara presiden di satu sisi dengan partai perwakilannya di parlemen di sisi yang lain. Pilihan yang sengaja berbeda tersebut disebut split ticket. Pilihan yang demikian dalam jumlah yang signifikan akan menghasilkan split party government. Sebaliknya, pemilih yang ingin membentuk presiden yang kuat akan cenderung memilih perwakilan partai yang sama untuk duduk sebagai presiden dan anggota parlemen. Pilihan yang sama demikian disebut straight ticket dan condong menghasilkan straight party government.
Presiden mayoritas ataupun presiden minoritas dapat terjadi dalam sistem presidensial yang didukung oleh sistem multi partai, ataupun dalam sistem dua partai. Meskipun, tentu saja, presiden minoritas cenderung lebih sering terjadi dalam sistem presidensial yang berada dalam sistem multi partai politik. Tentang presiden minoritas yang berada dalam sistem multipartai terjadi di banyak Negara Amerika Latin, ataupun sistem pemerintahan presidensial pascareformasi 1998. Sedangkan sistem presidensial minoritas yang terjadi dalam sistem dua partai tidak jarang dialami oleh Amerika Serikat.
Secara teori “median voter”, kecenderungan terjadinyapemerintahan terbelah, dalam sistem politik dua partai, adalah 50 persen. Tapi kalkulasi teori demikian tidak selalu akurat dalam kehidupan nyata. Pengalaman Amerika menunjukkan pemerintahan terbelah lebih sering terjadi, satu dan lain hal karena pemilih terdidik secara sadar dan terencana melakukan ticket splitting dalam pemilihan umum, yaitu dengan memberikan mandat kepada partai yang berbeda untuk menguasai masing-masing cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Misalnya memilih presiden dari Partai republik, sedangkan untuk kursi Senat suara diberikan kepada calon dari Partai Demokrat. Konsep split-ticket dibedakan dengan straight-ticket, yaitu ketika seorang pemilih menjatuhkan pilihan hanya kepada satu partai untuk semua tingkat dan jenis pemilihan umum.
Dalam penelitian yang dilakukan Morris Fiorina, kecenderungan terjadinya pemerintahan terbelah semakin tinggi bila profesionalisme anggota parlemen juga lebih dijamin. Yang dimaksud dengan profesionalisme menyangkut tiga hal: level renumerasi; fasilitas serta staf pendukung; dan kewajiban waktu kerja. Namun, Peverill Squire, dalam membantah Fiorina, menunjukkan bahwa meningkatnya kemungkinan pemerintahan terbelah lebih dipengaruhi oleh profesionalitas personal, dibandingkan profesionalitas institusional. Bagi Squire, perbaikan dan perubahan pada level sistem kerja parlemen saja tidak lebih berpengaruh, dibandingkan dengan bahan dasar kemampuan dan perilaku anggota parlemen itu sendiri.
Saya berpendapat, pemerintahan terbelah mensyaratkan tidak hanya perbedaan partai di antara presiden dan parlemen, namun juga perbedaan kebijakan di antara keduanya. Oleh karenanya, level independensi anggota parlemen memang harus lebih tinggi -di atas rata-rata- untuk dapat mengimbangi kekuasaan presiden yang sudah pasti besar. Pada konteks itulah menjadi wajar jika kemudian kompensasi profesionalitas institusi sang anggota parlemen dijamin secara layak, tentu dengan tetap meningkatkan kapasitas intelektual dan integritas moral para wakil rakyat tersebut.
Dikaitkan dengan upaya menghadirkan pemerintahan yang efektif, presiden di abad ke-20 dihadapkan pada dua kondisi yang kontradiktif. Di satu sisi, presiden mengemban harapan yang tinggi serta kewenangan yang luas; namun di sisi lain, polarisasi dukungan politik dan makin independennya anggota parlemen menyebabkan presiden semakin sulit memperoleh dukungan nyata dari koalisi di lembaga perwakilan rakyat. Di tengah kemiskinan dukungan demikian, presiden akhirnya berpaling kepada sokongan nyata dari publik, dari rakyat pemilihnya.
Lebih jauh, dalam membangun koalisi, publik mempunyai dua peran strategis, yaitu: menjadi legitimasi bagi kepemimpinan presiden sebagai dalam proses pembuatan kebijakan publik; serta publik menyediakan fondasi bagi pembangunan pemerintahan koalisi.
Selanjutnya, hampir serupa tapi tak sama, sistem presidensial juga dapat dibedakan banyaknya dukungan partai politik. Berdasarkan kriteria demikian, sistem presidensial dibedakan menjadi dua,yaitu: Single-Party Government (Majority-Party Government) dan Coalition Government (Multy-Party Government).
Coalition government akan berbiaya lebih tinggi dibandingkan single-party government karena makin banyaknya anggaran yang perlu dibagi di antara partai-partai anggota koalisi (Pereira dan Mueller: 2004). Ada rumus umum, makin tinggi jumlah partai politik dan anggota parlemen, maka pengeluaran negara semakin besar. Mengutip penelitian Inmann dan Fitss (1990) Pereira dan Mueller mencontohkan, jika satu partai menguasai kursi mayoritas di parlemen, maka proses legislasi lebih stabil, dibandingkan dalam parlemen yang multipartai; sebagai konsekuensi dari instabilitas yang meningkat, maka biaya proses legislasipun menjadi semakin tinggi.
Mengutip Lijphart (1994) dan Stein, Talvi serta Grisanti (1998), Pereira dan Mueller menyetujui rumusan bahwa sistem multipartai dan pemerintahan koalisi hadir dari sistem pemilu yang proporsional. Lebih jauh mereka berargumen, sistem proporsional terbuka dengan daerah pemilihan yang besar akan menghasilkan pemerintahan yang lemah daripada dalam sistem pemilu distrik, karena dengan jumlah partai yang banyak, akan lebih sulit untuk mendapatkan partai yang menguasai kursi mayoritas di parlemen. Maka, secara teori, gabungan semua sistem di atas akan memaksa pemerintah untuk melakukan banyak negosiasi dengan partai-partai, yang berarti makin tingginya pula biaya politik.
Namun teori biaya tinggi tersebut tidak terjadi di Brazil, meskipun semua patologi biaya tinggi di atas ada dalam sistem politiknya, yaitu: sistem pemerintahan presiden, bentuk negara federal, sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka, sistem multipartai dan kongres yang tidak dikuasai oleh satu partai. Faktanya, biaya eksekutif untuk mendapatkan dukungan politik dari parlemen, justru sangat rendah, terutama bila dibandingkan dengan biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan oleh eksekutif (Pereira dan Mueller: 2004). Lebih jauh mengapa hal demikian terjadi di Brasil tentu harus dilakukan penelitian secara mendalam.