Joy Flight Ekonomi, Sukseskah?
Istilah joy flight semakin populer setelah tragedi Sukhoi Super Jet 100. Istilah ini dijadikan sebutan untuk uji coba penerbangan pesawat
Editor:
Dheny Irwan Saputra
Oleh: Syahrituah Siregar SE MA
Istilah joy flight semakin populer setelah tragedi Sukhoi Super Jet 100. Istilah ini dijadikan sebutan untuk uji coba penerbangan pesawat produk terbaru untuk menunjukkan kemampuan manuver pesawat sehingga meyakinkan calon pembeli.
Pesawat SSJ 100 ini dipercaya berkemampuan tinggi karena dilengkapi perangkat teknologi canggih. Meski demikian, pesawat itu pada akhirnya mengalami kecelakaan.
Tulisan ini membahas aspek bisnis di balik itu. Perkembangan bisnis penerbangan khususnya pesawat penumpang di tanah air begitu dinamis. Beberapa waktu lalu PT Garuda Indonesia Tbk menandatangani pembelian 11 unit pesawat Airbus A330-300 yang disokong perusahaan asal Inggris Rolls-Royce, bersamaan dengan kunjungan Perdana Menteri Inggris David Cameron.
Sebelumnya, Lion Air pada 18 November 2011 menandatangani pembelian pesawat Boeing senilai US$ 21,7 miliar atau sekitar Rp 195 triliun bersamaan dengan kunjungan Presiden Barack Obama ke Bali. Merpati, maskapai pelat merah lainnya juga memborong sejumlah pesawat asal Cina yang kejadiannya dikait-kaitkan dengan peranan menteri perdagangan Marie E Pangestu.
Aksi joy flight SSJ 100 juga katanya dekat dengan rencana pembelian yang dilakukan maskapai Sky Air. Dinamika ini cukup memberi gambaran betapa ekspansi bisnis sedang berlangsung di dunia penerbangan di Indonesia.
Perkembangan ekonomi domestik juga telah menciptakan sasaran empuk pasar produk luar. Tidak hanya produk berteknologi tinggi seperti mesin, produk pertanian seperti buah-buahan, dan lainnya seperti tekstil, mainan dari plastik maupun metal, ponsel dan elektronik dari luar membanjiri pasar domestik saat ini.
Situasi ini sangat beralasan karena dilihat dari ukuran ekonominya Indonesia menempati peringkat 15 besar Gross Domestik Produk negara-negara di dunia. Sementara itu, penduduknya sekitar 240 juta jiwa merupakan keempat terbesar di dunia.
Dengan pertumbuhan berkisar 6 - 6,5 persen pertahun posisi Indonesia sangat penting dibanding pertumbuhan global yang hanya berkisar tiga sampai empat persen. Pertumbuhan sektor transportasi dan komunikasi sendiri adalah yang paling pesat dalam jangka sekian tahun terakhir rata-rata di atas 10 persen.
Sejalan dengan itu, penumpang pesawat domestik dari 2009 s/d September 2011 tumbuh rata-rata di atas 22 persen pertahun. Negara-negara produsen tentunya melirik Indonesia sebagai pasar yang menggiurkan. Apalagi negeri ini sangat konsumtif tapi kurang produktif.
Hal ini terbukti dengan besarnya peranan permintaan domestik (konsumsi masyarakat, pemerintah, dan impor) dalam menunjang pertumbuhan dibanding peran investasi dan ekspor. Karena itu sumber pembiayaan cenderung berupa hutang, dan penjualan aset yaitu carangan dan warisan.
Dalam jangka panjang situasi ini membahayakan karena kapasitas riil produksi relatif semakin kecil dan mengecilkan kemampuan daya saing. Ekonomi Indonesia seakan sedang dimanjakan tak ubahnya sedang melambung dalam joy flight. Tak ada yang bisa menebak kemana romantika joy flight ekonomi ini akan berujung.
Meski demikian bagi sebagian kalangan kondisi ini tidak dipandang sebagai hal mengkhawatirkan. Masuknya asing seberapa besarpun adalah konsekuensi dari keterbukaan yang dengan sendirinya akan membuat ekonomi sehat.
Pasar dan sistem keuangan secara global harus terintegrasi sehingga menciptakan harga internasional dan standardisasi didalam negeri yang membuat kita mampu bersaing secara global. Seberapa besarpun sumber daya alam yang kita miliki tidak akan bermanfaat jika tidak dieksploitasi untuk menciptakan produk, menyediakan lapangan kerja, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Apa artinya punya cadangan gas atau batu bara melimpah namun tak bernilai ekonomis. Oleh karenanya, investasi harus didorong masuk, tidak peduli asing atau domestik agar membebaskan kehidupan dari keterbelakangan.
Demikianlah pola fikir sebagian pihak yang pro atas liberalisme pasar. Dalam hal bisnis penerbangan sipil Indonesia, masuknya pesawat, baik dari Inggris, AS, Cina, Brazil, Mexico, dan sebagainya adalah untuk menciptakan perluasan peluang bisnis. Resiko yang berkaitan dengan ketergantungan, ketidakpastiaan, dan hilangnya kedaulatan negara menjadi urusan yang tidak perlu diperhitungkan.
Ketidakadilan distribusi hasil karena kita selalu mengekor digerbong belakang rantai teknologi dan bisnis negara asing tidak ada dalam kamus mereka. Pernah seorang pengusaha nasional mengatakan bahwa ia tidak peduli jika semua perusahaan adalah milik asing yang penting dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat.
Banjir produk asing ini lebih disebabkan karena pola fikir pro libelarisme saat ini jauh lebih dominan. Namun demikian jika kita tengok kebelakang sebenarnya idealisme industri kedirgantaraan telah pernah terbangun. Sejak 1980 Indonesia telah mampu memproduksi pesawat jenis C 212 jauh sebelum AS dan Eropa melakukan konsolidasi serius untuk menguasai pasar global di tahun 2000.
Setelah terjadinya krisis mulai 1997, terjadilah apa yang dinamakan Rahardi Ramelan (Mantan Menperindag dan Direktur PT Dirgantara Indonesia) sebagai disruptive technological development yang menyebabkan industri ini jauh mundur ke belakang. Lebih lanjut, kehancuran ini terjadi di tengah masa PT Dirgantara Indonesia sedang menyiapkan rancangan pesawat teranggih yang prototype sejenisnya baru mampu direalisasikan beberapa tahun terakhir ini oleh negara lain.
Industri pesawat nasional bersama-sama proyek mobil nasional menurut bahasa Ramelan, “telah dihabisi” melalui tangan-tangan IMF dan WTO demi kepentingan negara maju G-8 yang merasa terancam oleh kemajuan teknologi Indonesia.
Implikasi lebih luas dari hancurnya proyek pesawat nasional ini adalah terhadap berbagai aset yang telah kita miliki dalam bidang teknologi dirgantara. LUK (Lembaga Uji Konstruksi) di Puspiptek Serpong, LAGG (Laboratorium Aerodinamika, Gas dan Getaran), dan yang paling penting SDM-SDM terbaik diabaikan secara mubazir.
Ramelan mengharapkan adanya visi techno-ideology yang harus dimiliki pemimpin negara. Berbagai negara late-industrialized membangun kemandirian teknologi yang disebut dengan istilah techno-nasionalism dengan penuh kesungguhan. Mereka sukses mengembangkan teknologi maju (secara diam-diam), seperti India dan Pakistan dengan nuklirnya, Cina dengan roket dan space technology, Taiwan dengan roket dan elektronika, Korea Utara dengan teknologi nuklir, dan Korea Selatan dengan teknologi semikonduktor.
Kenapa harus secara diam-diam, karena negara G-8 akan segera berusaha mengambil kontrol atas perkembangan teknologi yang terjadi dinegara-negara berkembang.
Dosen Fakultas Ekonomi Unlam
Rekomendasi untuk Anda