Jenderal Besar
AWAL tahun ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat beberapa langkah yang mengejutkan.
BANJARMASINPOST.CO.ID - AWAL tahun ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat beberapa langkah yang mengejutkan. Dia menurunkan harga elpiji 12 kilogram (KG) hanya dalam sehari dengan sekali rapat mendadak di bandara setibanya dari luar daerah.
Pertamina menaikkan harga gas dari Rp 70.200 menjadi Rp 117.708 per tabung. Lewat tangan presiden turun lagi menjadi Rp 90.000 an. Padahal menteri-menteri sudah mengatakan kenaikan itu bukan wewenang pemerintah tapi Pertamina.
Urusan gas baru saja selesai, SBY kembali membuat kejutan. Menolak usulan Panglima TNI Jenderal Moeldoko yang akan memberikan pangkat jenderal besar, bintang lima. Setingkat Jenderal Sudirman, Nasution dan Soeharto.
Sebelum itu masyarakat juga dibuat heran oleh keputusannya yang membatalkan peraturan pengobatan untuk para pejabat tinggi. Padahal ketentuan itu baru saja dikeluarkan lewat Perpres Nomor 105 Tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan paripurna untuk para menteri dan pekjabat tinggi, serta Perpres Nomor 106 Tahun 2013 tentang jaminan pemeliharaan kesehatan bagi pimpinan lembaga negara.
Kedua Perpres itu mungkin malah belum berjalan. Urusan kesehatan pejabat negara kini mengacu pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang ditangani Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Tapi anehnya tindakan yang jarang ini tidak mendapat respons dari masyarakat. Harga elpiji ramai mengisi lembaran koran dan media lain hanya saat naiknya, turunnya nggak banyak diperhatikan, malah dianggap ada skenario yang dibuat seperti itu.
Jaminan kesehatan untuk para menteri dan pejabat negara yang lain tidak ada yang ambil pusing. Paling tidak upaya untuk mencabut itu harus diapresiasi tapi nyatanya masyarakat adem ayem saja. Yang ribut justru pelayanan kesehatan masyarakat lewat JKN yang belum sinkron.
JKN hampir sama dengan jaminan kesehatan lewat Kartu Jakarta Sehat (KJS) gagasan Gubernur DKI Joko Widodo yang sudah berjalan setahun. Bedanya, KJS cakupan pelayanannya lebih luas.
Yang paling baru adalah keputusan SBY untuk menolak diberi pangkat jenderal besar. Pemberitaan media biasa-biasa saja, padahal ini keputusan penting. Beritanya kalah dari berita mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang mbalelo terhadap KPK. Sekarang berita Anas lebih menggelegar lagi, sayang kaitannya dengan korupsi. Bukan prestasi yang mengangkat citra anak bangsa.
Yang menjadi perhatian masyarakat justru sikap SBY yang tidak biasanya, kini cepat dan cekatan memutuskan permasalahan. Biasanya ‘lamban’.
Soal harga gas orang percaya itu hak Pertamina untuk menentukan, tapi tak percaya kalau pemerintah belum tahu karena sudah melalui rapat umum pemegang saham. Saham Pertamina 100 persen milik pemerintah, jadi pemerintah pasti ikut menentukan. Ini yang menyebabkan keputusan SBY yang begitu cepat dianggap pencitraan.
***
Akan halnya kenaikan pengkat jenderal besar, kalau itu serius sebaiknya minta pertimbangan DPR atau MPR. Pangkat jenderal saja yang menandatangani surat keputusannya konon presiden, masajenderal besar cukup Panglima TNI. Menurut pengamat militer Salim Said, di Indonesia memang belum ada ketentuan tentang jenderal besar. Ini beda dengan di Amerika Serikat, misalnya.
Walaupun demikian yang sudah diputuskan Presiden SBY soal harga elpiji, pencabutan perpres dan penolakan jadi jenderal besar sebaiknya disikapi tanpa curiga. SBY tidak butuh lagi pencitraan wong sudah tidak akan nyapres lagi karena sudah dua kali. Kalau Partai Demokrat ingin mengail di air keruh itu biasa. Memang tak ada lagi cara untuk mengangkat pamornya.
Mungkin orang justru akan angkat topi jika yang diusulkan menjadi jenderal besar sebagai kehormatan adalah mantan Presiden Soekarno, misalnya.