Sebaran Elpiji Makin Bocor
Masih ada lima kabupaten di Kalsel yang belum melaksanakan program konversi minyak tanah ke elipiji.
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Masih ada lima kabupaten di Kalsel yang belum melaksanakan program konversi minyak tanah ke elipiji. Yakni Tanahbumbu (Tanbu), Tanahlaut (Tala), Kotabaru, Tabalong dan Hulu Sungai Utara (HSU). Anehnya, warga di daerah-daerah tersebut juga ‘menjerit’ karena tingginya harga elpiji, sebagaimana yang dialami warga di daerah yang sudah melakukan konversi.
Berdasar penelusuran BPost di daerah-daerah yang belum terkena program konversi itu, mayoritas berasal dari Banjarmasin. Jumlahnya mencapai ratusan hingga ribuan tabung per daerah. ‘Kebocoran’ ini tentu berdampak pada kelangkaan elpiji di Kota Seribu Sungai. Kalaupun ada, harganya pasti membubung.
Seperti yang terjadi di Tala. Beberapa pengecer mengaku bisa menjual karena mendapat pasokan dari pengecer di Banjarmasin, baik tabung 3 kilogram (kg) maupun 12 kg.
“Saya selalu dipasok meski saat ini untuk elpiji 12 kg masih kosong. Tabung 3 kg saat ini kita jual Rp 28 ribu dan tabung 12 kg dijual 120 ribu. Itu sudah normal, sebelumnya sempat mahal sekali,” kata seorang pengecer di Pasar Anyar Pelaihari, Adit, Rabu (15/1).
Informasi yang terhimpun menyebutkan pasokan dari Banjarmasin diantar menggunakan mobil pick up. Pasokan berdasar pesanan masing-masing pengecer, dari puluhan hingga ratusan tabung. Menurut para penge cer, keuntungan menjual elpiji cukup lumayan, bisa sedikitnya Rp 5 ribu per tabung jika kondisi ‘tidak normal’. Sementara jika tidak terjadi kelangkaan, dari satu tabung bisa untung Rp 2 ribu hingga Rp 3 ribu. “Pembelinya banyak,” ucap Adit.
Pengguna elpiji di Amuntai, HSU, juga ditengarai cukup banyak, terutama pengguna tabung 3 kg. Saat ini harganya berbeda-beda antarpengecer antara Rp 24 ribu hingga Rp 30 ribu tiap tabungnya. Menurut sejumlah pengecer, naik turunnya harga tergantung harga yang dipatok pemasok.
“Saya beli dari pemasok seharga Rp 25 ribu, ditambah biaya angkut, saya menjualnya Rp 27 ribu. Seminggu rata-rata bisa menjual 50 sampai 60 tabung. Memang banyak pembeli yang jengkel karena mahalnya harga, tetapi bagaimana lagi kondisinya memaksa seperti itu,” kata seorang pengecer di Kelurahan Pelampitan, Maskuni.
Di HSU sebenarnya ada agen elpiji yakni milik H Barkati di Kecamatan Banjang. Namun, karena belum ada program konversi, dia memasok ke Balangan. “Kami terima dari Pertamina untuk menyulapi Balangan,” tegas dia.
Harga lebih mahal terjadi di Tabalong. Harga minimal elpiji 3 kg adalah Rp 30 ribu per tabung. Menurut sejumlah pengecer, harga itu dikarenakan pemasok sudah memasang harga Rp 25 ribu. “Kami biasa mengambil (membeli) dari Banjarmasin, Binuang, Barabai atau Pringin. Terbanyak ya dari Banjarmasin,” ucap seorang pengecer.
Belum berlangsungnya program konversi diduga justru dijadikan ajang mencari untung oleh pedagang di Kotabaru. Pasalnya, pembeli elpiji terutama ukuran 3 kg terbilang banyak. Pasokan pun mayoritas dari Banjarmasin.
Salah seorang pekerja toko di kawasan Jalan Surya Gandamana mengatakan pasokan yang biasa diterima sekitar 200 tabung.
Menurut beberapa pengecer, harga elpiji di Kotabaru sudah naik tiga sejak akhir Desember 2013. Dari Rp 28 ribu, naik Rp 35 ribu dan meroket antara Rp 40 ribu hingga Rp 43 ribu per tabung. Harga itu diberlakukan karena dari pemasok sudah mencapai Rp 31 ribu.
Lain lagi pengakuan Uun, pemilik toko Sahabat Kita di Jalan Putri Ciptasari. Dia mengatakan hanya menjual elpiji 12 kg. Namun, dia melayani jika ada pesanan dari pembeli. “Kalau ada yang pesan baru kami carikan,” katanya.
Sementara seorang pengecer di Batulicin, Tanbu mengaku mendapat pasokan dari pangkalan di Barabai dan Banjarmasin.
“Yang sering menitip ngakunya dari salah satu CV yang menjadi pangkalan di Banjarmasin. Harganya Rp 30 ribu, kami jual Rp 40 ribu,” katanya.