Coretan Ketatanegaraan
Teman Tapi Lawan
KONSEKUENSI dianutnya sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak dalam Pemilu Legislatif kita
Oleh: Rifqinizamy Karsayuda
KONSEKUENSI dianutnya sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak dalam Pemilu Legislatif kita sebagaimana diatur dalam UU No.8 Tahun 2011, menjadikan persaingan bukan hanya ada pada level eksternal (baca: antar partai politik), melainkan persaingan di internal partai politik.
Pada level internal ini, persaingan dilakukan antar Caleg dalam satu partai politik di satu daerah pemilihan yang sama. Sistem proporsional terbuka sesungguhnya adalah varian paling moderat dalam sistem pemilu yang dianut berbagai negara di dunia.
Ia menjadi semacam jalan tengah dari dua langgam sistem pemilu yang saling berseberangan, yaitu sistem proporsional tertutup dan sistem distrik. Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya disuguhkan pilihan atas nama-nama partai politik. Calon dari partai-partai politik dimaksud tak dimunculkan dalam surat suara.
Para calon dari partai hanya diserahkan partai ke Komisi Pemilihan Umum. Penentuan calon yang jadi-pun, menjadi preogratif partai politik untuk menentukannya. Regulasi Pemilu dalam sistem ini biasanya menempatkan calon diurutan atas punya kesempatan lebih dulu untuk menjadi anggota partai politik berdasarkan suara yang diraih partai politik-nya dalam Pemilu. Kita pernah menganut sistem Pemilu demikian, pada saat diberlakukannya UU No 3 Tahun 1975 jo UU No.3 Tahun 1985.
Dua UU yang menjadi dasar hukum keberadaan partai politik dan pemilu di era Orde Baru. Kala itu dikenal terminologi “calon jadi” dan “calon bayangan”. Calon jadi mengacu pada mereka yang diletakkan di nomor urut atas, sebaliknya mereka di nomor buncit dapat dipastikan tak akan terpilih.
Pada pihak lain, adapula sistem pemilu berbasis distrik yang popular disebut sebagai sistem distrik. Dalam sistem ini, daerah pemilhan dibagi sama besar dengan alokasi kursi di Parlemen. Jika kursi di Parlemen berjumlah 100 kursi, maka daerah pemilihannya juga dibuat 100 daerah pemilihan.
Tiap satu daerah pemilihan diwakili oleh satu wakilnya di parlemen. Dalam konteks ini, hanya calon dari partai politik yang memiliki suara terbanyak diantara para kandidat lainnya yang akan mewakili daerah pemilihan itu. Pada konteks ini, hanya calon dan partai politik yang electable-lah yang akan diberikan amanah oleh publik dalam Pemilu.
Pilihan sistem proporsional terbuka adalah jalan tengah dari dua sistem pemilu di atas. Ia
membuka ruang pada pemilih untuk memilih calon, bukan hanya memilih partai politiknya. Hal ini karena dalam surat suara dimunculkan nama dan gambar partai politik, beserta nama-nama calon.
Sistem ini kemudian menjadi tambah menarik, ketika calon dengan suara terbanyaklah yang akan menjadi anggota legislatif sebagaimana Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Format ini kemudian menghapus terminologi “calon jadi” dan “calon bayangan” sebagaimana kerap dialami pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Salah satu konsekwensi dari sistem yang kita anut ini, sekali lagi adalah terjadinya persaingan yang tak terelakkan bukan hanya pada wilayah antar partai politik, melainkan juga antar sesama caleg dari satu partai politik di daerah pemilihan yang sama. Semua itu dilakukan agar yang bersangkutan mendapatkan perolehan suara terbanyak diantara caleg-caleg lain di partainya.
Situasi ini pada ranah kuantitatif boleh jadi menguntungkan partai, karena rumusnya semakin banyak caleg yang bergerak untuk memobilisisr dukungan bagi dirinya, maka suara-suara caleg itu otomatis akan berimplikasi pada perolehan suara partai secara umum di dapil yang bersangkutan.
Logika kuantitatif inilah yang kerap dijadikan pertimbangan elite partai dalam menyusun daftar caleg di satu daerah pemilihan. Sebagai contoh,caleg dari partai A di dapil X berjumlah 5 orang. Dapil tersebut mencakup tiga kabupaten. Partai A meletakkan caleg yang beratar belakang, 1 orang mantan Bupati Kab 1, 1 orang mantan Bupati Kab 2 dan 1 orang istri Bupati Kab 3.
Sementara 2 orang lainnya adalah anggota DPRD Provinsi yang sudah menjabat 2 periode dari dapil dimaksud. Komposisi demikian menempatkan caleg-caleg itu dengan modal sosial yang relatif merata, sementara agak mustahil kelima caleg itu seluruhnya bisa merebut 5 kursi DPRD Provinsi yang diperebutkan dengan 11 partai politik lain di Pemilu 2014 ini.
Pola persaingan demikian, bukan hanya menjadi “neraka” bagi seluruh caleg dari 12 partai di dapil itu, tetapi juga menjadi “rumah neraka” bagi caleg-caleg dari partai A dimaksud.