Coretan Ketatanegaraan
Teman Tapi Lawan
KONSEKUENSI dianutnya sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak dalam Pemilu Legislatif kita
Pada posisi inilah, caleg sesungguhnya tak lagi amt menghiraukan suara untuk partainya, melainkan memobilisir suara hanya untuk dirinya semata. Kawan separtai di dapil yang sama-pun, harus dimaknai sebagai kompetitir, bahkan lawan. Tak jarang sikut menyikut terjadi antar caleg dalam satu partai.
Pola ini dari sisi institusionalisasi partai politik sesungguhnya kurang positif, karena ia dapat menjadi sumber konflik di internal partai. Calon-calon yang tak terpilih dapat saja membangun faksi berseberangan dengan caleg terpilih. Faksi yang dapat memecah belah partai.
Pada situasi dimana caleg terpilih adalah “pendatang baru” di partai dan mengalahkan caleg yang notabene elite partai. Bukan tidak mungkin setelah si caleg terpilih dan dilantik sebagai anggota DPRD, maka caleg yang elite partai itu akan mencari seribu alasan untuk me-recall (memberhentikan) caleg terpilih dan digantikan dengannya.
Inilah sepenggal kisah dari pilihan sadar kita menganut sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Satu sistem pemilu yang coba menggabungkan antara kehendak meletakkan suara terbanyak sebagaimana yang dianut sistem distrik, dengan calon banyak yang dianut sistem proporsional. Pilihan yang bisa dikatakan moderat atau justru banci. Wallahu’alam.