Ruang Kosong Ajang Kontestasi Politik

KETIKA berbicara dalam Workshop; “Jurnalis Memberitakan Isu Keberagaman di Pontianak” pada 22-23 Februari, Maria Hartiningsih, wartawan senior

Editor: M Fadli Setia Rahman

KETIKA berbicara dalam Workshop; “Jurnalis Memberitakan Isu Keberagaman di Pontianak” pada 22-23 Februari, Maria Hartiningsih, wartawan senior harian Kompas, jurnalis pertama penerima penghargaan Yap Thiam Hien 2003, mengingatkan bahwa media massa telah menjadi kekuatan keempat selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Media massa bisa membentuk manusia-manusia yang menjadi agent of change alias agen perubahan. Tetapi, media juga berpotensi kehilangan fungsinya sebagai “penjaga demokrasi” untuk mengonstruksikan peristiwa sesuai ideologinya.

Maria Hartiningsih sebagai jurnalis yang konsisten dalam penulisannya memperjuangkan hak asasi manusia, menilai media massa memiliki ruang kosong yang menjadi ajang kontestasi.

Disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kontestasi merujuk pada arti memperebutkan dukungan rakyat telah mengikuti “sistem pasar”, seiring dengan rontoknya sistem lama oleh gerakan reformasi pada 1998.

Ruang kosong ini bisa saja digarap demi kepentingan politik, yang membutuhkan ajang kontestasi di media massa. Apabila kontestasi ditumbuhkan dengan memanfaatkan potensi konflik dalam keberagaman agama dan etnis, tentu sangat berbahaya.

Sudah semestinya media massa menjadi “penjaga demokrasi” yang cerdas menyikapi gejala-gejala pemanfaatan isu keberagaman agama dan etnis, di tengah mulai memanasnya situasi Pemilu Legislatif 9 April dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2013.

Kalimantan Barat memiliki catatan panjang tentang konflik antar-etnis. Usman Kansong, Direktur Pemberitaan Media Indonesia, mengatakan, hasil penelitian akademisi Ria Hayatunnur menyebutkan bahwa pada masa konflik etnis lalu, satu media massa di Kalbar berpihak kepada satu etnis untuk kepentingan ekonomi. Hal seperti ini sangat disayangkan, sebab media massa semestinya sadar betul fungsinya untuk menjalankan peran dalam pendidikan multikultiralisme.

Ade Armando, Pakar Komunikasi Universitas Indonesia, juga mewanti-wanti pentingnya media massa bersikap bahwa konflik bukan komoditas untuk diperdagangkan. Jadilah media massa yang mengambil sikap bahwa konflik sebagai kondisi yang membutuhkan intervensi media massa, untuk dicegah dan diselesaikan.

Perang Teluk dimulai dari pesanan pemberitaan media massa bahwa Irak layak diserang, karena memiliki senjata pemusnah massal. Setelah rakyat Irak sengsara akibat invasi Amerika, media massa lantas menyatakan “ups.. ternyata isu senjata pemusnah massal adalah bohong belaka.” Peristiwa itu membuat rakyat Amerika sulit mempercayai media massa.

M Choirul Anam dari Human Rights Working Groups (HRWG) berharap jurnalisme dengan berita yang menyejukkan di tengah keberagaman agama dan etnis warga Indonesia, tidak hanya hadir saat berkonflik, tetapi juga saat damai. Jangan sampai media massa menjadi “kompor” di tengah kondisi damai, hanya demi mencapai tujuan mendapat perhatian dari masyarakat.

Pembaca juga penting untuk menyadari bahwa tiap kita adalah manusia, yang ketika lahir tak bisa memilih siapa orangtua kita, akan beragama, beretnis, dan berjenis kelamin apa. Karena kita adalah manusia, maka penting untuk berpikir dan bertindak dalam bingkai kemanusiaan. Sadari bahwa keberagaman itu indah.

Bayangkan jika hanya satu jenis dan warna bunga di taman, tentu akan lebih cantik rupa taman dengan berwarna-warni, serta aneka rupa bunga. Pahami bahwa keberagaman tidak semestinya menjadi konflik, justru menciptakan harmonisasi. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Hari-hari Terakhir

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved