Tak Lari dari Kebebasan
Kampanye yang hingar bingar, ditingkahi musik dan goyang aduhai artis-artis ganteng dan cantik sudah berakhir.
Oleh: Mujiburrahman
Kampanye yang hingar bingar, ditingkahi musik dan goyang aduhai artis-artis ganteng dan cantik sudah berakhir. Sejak kemarin, kita sudah memasuki masa tenang.
Selama rentang waktu tiga minggu kampanye, suasana persaingan antarpartai dan tokoh-tokohnya amatlah terasa, baik yang diucapkan langsung oleh juru kampanye, atau berupa sindirian dalam paket iklan.
Warna-warni atribut partai, foto caleg hingga calon presiden dari partai tertentu, yang tumpah ruah di ruang publik, seolah menjadi karikatur dari pertarungan politik yang tengah berlangsung.
Namun, betapa pun panasnya persaingan, masa kampanye tahun ini relatif berjalan aman. Memang ada sedikit kasus kekerasan di Aceh, tetapi di daerah-daerah lain di Indonesia, umumnya berjalan aman dan damai. Ini satu prestasi yang patut kita syukuri.
Jelas tidaklah mudah mengatur negeri yang amat luas dengan penduduk 240 juta ini, dengan keragaman yang luar biasa dari segi etnis, budaya dan agama.
Kalau kita bandingkan dengan pemilu Orde Baru, maka keadaan sekarang jauh lebih baik. Ketika itu, pemilu hanyalah formalitas, dengan hasil yang sudah jelas: Golkar menang di atas 60 persen, dan Soeharto tetap sebagai presiden.
Demi tercapainya hasil itu, seluruh aparat pemerintah, sipil dan militer turut campur, dengan berbagai cara, termasuk melalui ancaman, manipulasi dan kekerasan.
Kita juga patut bersyukur jika menengok keluar, ke negara-negara lain. Malaysia dan Singapura misalnya, adalah dua negara yang tampaknya secara ekonomi lebih makmur dari kita, tetapi dari segi kebebasan politik dalam berdemokrasi, saya kira Indonesia lebih baik.
Apalagi kalau kita melihat lebih jauh ke Timur Tengah, seperti Saudi Arabia, Mesir, Suriah, Libya, Irak dan Palestina. Indonesia masih jauh lebih baik.
Namun, tentu saja kita tidak boleh puas dengan semua ini. Masih banyak masalah yang harus diatasi. Selama masa kampanye, masalah-masalah itu bisa kita temukan dalam iklan-iklan politik atau pidato-pidato para juru kampanye.
Semuanya mengaku akan menjadi pemecah masalah, bukan sumber masalah. Mereka berjanji anti-korupsi, pro-rakyat, dan tidak menggadaikan negara ke pihak asing.
Namanya juga kampanye, masa merayu pemilih agar mau memilih. Berbagai cara pun dilakukan agar rakyat percaya. Segala kesalahan dan janji-janji palsu di masa lalu sekuat tenaga dihapus dari ingatan rakyat.
Triliunan rupiah digelontorkan untuk iklan-iklan serba indah menggugah di televisi, koran, baliho dan bilboard. Pada akhirnya, kampanye hampir sama dengan iklan: membujuk, meski kadang palsu.
Mungkin keadaan ini akan mendorong kita kepada berbagai pertanyaan serius. Apakah arti kebebasan berdemokrasi jika dalam kenyataan pemilih disuguhi citra-citra dan kesan-kesan indah belaka? Apakah makna kebebasan jika akhirnya uang jualah yang menang, bukan nilai-nilai moral seperti kemanusiaan, keadilan dankejujuran? Apakah demokrasi akhirnya tidak lebih dari kemunafikan yang santun?
Saya kira semua pertanyaan ini jawabnya gampang sekaligus susah. Gampang karena pada akhirnya yang menentukan kualitas demokrasi adalah kita semua yang terlibat dalam berdemokrasi. Jika pemilih cerdas dan kritis, sadar akan tipu daya iklan dan kampanye, mungkin dia tidak mudah terbujuk. Begitu pula politisi yang baik, tidak akan menggunakan cara-cara yang tak bermoral dalam mendulang suara.
Di sisi lain, membuat demokrasi kita makin sehat dan dewasa jelas tidak gampang. Kita tidak hanya perlu politisi yang baik, tetapi juga rakyat pemilih yang baik.
Kita tidak hanya perlu aturan pemilu yang jujur dan adil, tapi para pelaksana yang jujur dan adil pula. Sementara kejujuran dan keadilan adalah nilai-nilai moral yang ditanamkan dalam waktu yang lama, melalui pendidikan dan kehidupan nyata sehari-hari.
Meminjam Erich Fromm, kita telah berhasil berjuang demi kebebasan (for freedom) dari penindasan politik, dan kini tiba saatnya kita berjuang dengan kebebasan itu (with freedom) demi kesejahteraan bersama. Dalam situasi serbagalau, kata Fromm, kadang manusia justru takut dan lari dari kebebasan (escape from freedom), lalu menyerahkan semua keputusan kepada seorang pemimpin otoriter.
Semoga yang terakhir ini takkan pernah terjadi. Mari kita buktikan pada 9 April 2014! (*)