Coretan Ketatanegaraan
Daulat dan Selera Rakyat
DALAM satu perjalanan menggunakan angkutan umum dari Stasiun Gambir Jakarta ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta,
Oleh: Rifqinizamy Karsayuda
DALAM satu perjalanan menggunakan angkutan umum dari Stasiun Gambir Jakarta ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta, secara tak sengaja saya berjumpa dengan salah seorang anggota DPRD Provinsi Kalsel periode saat ini.
Beliau kembali ikut dalam Pemilu 2009 lalu, namun gagal. Menurutnya, banyak calon petahana (incumbent) di DPRD Kalsel yang gagal melanjutkan “amanah” rakyat duduk di kursi dewan periode mendatang.
Pemilu bagaimana-pun adalah mekanisme kedaulatan rakyat yang sah untuk melahirkan rotasi kekuasaan dalam lingkup ketatanegaraan. Ia menjadi sumber kekuasaan itu sendiri, karena kekuasaan hadir melalui mekanisme ini.
Di sisi lain, Pemilu juga merupakan cara yang konstitusional untuk mengontrol kekuasaan oleh rakyat. Pemilu menjadi ajang pemberian penghargaan (reward) bagi mereka yang dianggap layak menyandang amanah, sekaligus penghukuman (punnishments) bagi mereka yang dianggap tak pantas duduk sebagai wakil rakyat.
Penghukuman itu bisa sangat efektif berdampak bagi caleg petahana, dimana pemilu bisa menjadi sarana evaluasi kinerja mereka kepada rakyat dalam lima tahun ia menjabat sebagai anggota dewan. Boleh jadi apa yang ia lakukan selama ini tak berkorelasi dengan kehendak rakyat yang ia wakili.
Mekanisme inilah yang mungkin dapat menjadi penjelas mengapa banyak anggota DPR/D yang tak terpilih kembali di Pemilu 2014 yang lalu. Di level DPR RI sejumlah nama tersohor gagal mengenggam kembali amanah rakyat.
Nama seperti Marzuki Alie, Priyo Budi Santoso, Lukman Hakim Syaifuddin, Eva Kusuma Sundari, Hajriyanto Thohari dan lain-lain yang selama ini dikenal vokal tak lagi melenggang ke Senanyan.
Di level daerah, nama seperti Puar Junaidi, Ibnu Sina, Rahmat Nopliardi dan lain-lain mesti harus mengakui keberadaan caleg lainnya yang lebih dipercaya rakyat di dapilnya masing-masing.
Pemilu yang dilakukan secara langsung di tanah air kita ini, memang telah menjadikan rakyat sebagai sentrum asal muasal kekuasaan. Hanya saja, kedaulatan rakyat itu akan memudar ketika kekuasaan itu telah terbentuk.
Rakyat yang telah memilih seseorang tak memiliki saluran untuk menarik mandat itu kembali, ketika rakyat sebagai pemilih merasa apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh si wakil rakyat tak sesuai dengan kehendak rakyat tersebut.
Pada titik inilah kedaulatan rakyat acapkali menjadi dilema. Ia hadir hanya pada momentum pemilu guna membentuk pemerintahan, termasuk membentuk lembaga legislatif di dalamnya. Namun pada saat lembaga-lembaga perwakilan rakyat itu telah terbentuk, kedaulatan rakyat hanya menjadi simbol yang artificial dan tak bermakna. Mekanisme saling kontrol saling imbang (checks and balances) antara rakyat dengan wakilnya tak berlangsung dengan baik. Akibatnya, rakyat harus sabar menunggu pemilu berikutnya untuk memberikan hukuman bagi wakilnya yang dianggap tak lagi pantas.
Satu-satunya mekanisme kontrol rakyat atas wakilnya di Parlemen adalah ketentuan soal alasan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR/D sebagaimana diatur dalam UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Dalam UU tersebut disebutkan salah satu mekanisme PAW dikarenakan adanya laporan atau pengaduan dari pemilih, selain adanya laporan atau temuan dari BK DPR/D dan Pimpinan DPR/D itu sendiri.
Laporan dari pemilih itu tentu saja akan dikaji kebenarannya oleh BK DPR/D untuk dilanjutkan pada proses berikutnya, hingga PAW itu berlangsung (vide Bagian kelima belas UU No.27 Taun 2009).