Kita Harus Move On
PRO dan kontra soal Undang-undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang baru saja disahkan DPR RI
Oleh: Rifqinizamy Karsayudha
PRO dan kontra soal Undang-undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang baru saja disahkan DPR RI seolah tak berkesudahan. Saya-pun kebagian "pekerjaan" untuk meladeni beberapa wawancara koran, radio dan televisi pada minggu lalu.
Tak sedikit pula sahabat-sahabat saya di dunia maya mengajak berdiskusi perihal dikembalikannya pemilihan kepala daerah ke DPRD oleh UU Pilkada yang baru ini.
Tepat minggu lalu di Kolom ini, saya menegaskan pandangan saya dalam ranah hukum tata negara tentang perbedaan mendasar Pilkada dan Pemilukada.
Sebagai cara pemilihan yang dilakukan tanpa melalui Pemilu, Pilkada di DPRD sudah barang tentu tak melibatkan rakyat layaknya Pemilu Legislatif dan Presiden. Pada titik inilah, banyak dari kita merasa hak-hak politik dasar kita untuk memilih telah dirampas melalui UU Pilkada yang baru ini.
Tapi apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. UU Pilkada itu bagaimana-pun harus segera diberlakukan, bahkan ketika proses pengundangannya diperlambat oleh eksekutif sekalipun sebagaimana sinyalemen SBY beberapa hari terakhir.
Hukum kita menegaskan dalam waktu 30 hari sejak keputusan DPR RI, suatu UU akan berlaku dengan sendirinya, jika proses pencantuman di lembaran negara tak kunjung dilakukan oleh eksekutif.
Sejarah ketatanegaraan kita telah mengajarkan pengalaman berharga pada kita melalui dua model pilkada yang hari ini kita perdebatkan.
UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa Kepala Daerah dipilih oleh DPRD setempat. UU yang berlaku di awal orde reformasi dan otonomi daerah itu kita gunakan sampai dengan tahun 2004 atau selama lima tahun.
Kala itu, seluruh kepala daerah kita di masa otonomi daerah dipilih oleh DPRD-nya. Hingga tiba masa dimana UU Pemerintahan Daerah direvisi dengan hadirnya UU Nomor 32 Tahun 2004.
Di UU ini, cara memilih Kepala Daerah tak lagi dilakukan oleh DPRD, melainkan dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme Pemilu Kepala Daerah.
Secara konstitusional, pilihan untuk menetapkan cara mana yang dipilih untuk memilih kepala daerah merupakan pilihan yang amat terbuka.
Hal ini lantaran ketentuan Konstitusi perihal pemilihan kepala daerah di dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis".
Kata demokratis dalam ketentuan itu tentu membuka tafsir lebar, apakah pemilihan kepala daerah itu dilakukan melalui pemilihan langsung (direct democracy) atau pemilihan tak langsung (indirect democracy). Pasal 18 ayat (4) sendiri adalah buah dari amandemen kedua UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 2000. Ia hadir belakangan setelah UU No.22 Tahun 1999 dibuat satu tahun sebelumnya.
Ketentuan pemilihan kepala daerah yang dipilh secara demokratis juga dibuat satu tahun mendahului ketentuan terkait pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung sebagaimana diatur dalam Pasal 6a UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan Pemilu Presiden langsung itu dilakukan melalui amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001.