Membalik Zaman
SEANDAINYA para pemimpin partai bisa bersikap arif, jujur dan bijak, mungkin negara ini bisa terhindar
Oleh: Pramono BS
SEANDAINYA para pemimpin partai bisa bersikap arif, jujur dan bijak, mungkin negara ini bisa terhindar dari kegaduhan politik seperti sekarang.
Mungkin juga perintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat agar fraksinya ‘all out’ mendukung opsi pilihan langsung pada pengesahan UU Pilkada tempo hari, tidak didengar ‘walkout’ oleh ketua fraksinya, Nurhayati Assegaf, pimpinan DPR tidak dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP).
Sayang kedudukan KMP yang kuat di DPR tidak dipakai untuk kepentingan rakyat tapi untuk membumihanguskan lawan politiknya, Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Yang terakhir adalah dalam penyusunan pimpinan komisi. KIH ingin secara musyawarah mufakat tapi KMP ingin sistem paket dan voting.
Pemilihan pimpinan komisi syaratnya harus disetujui separuh jumlah fraksi plus 1 tidak diindahkan. KMP cuma ada 5 fraksi, lima yang lain ada di KIH.
Tapi pimpinan DPR tetap memutus bahwa pemilihan tetap dilangsungkan dengan voting. Semua kursi komisi pun dibabat oleh KMP.
KIH yang kecewa akhirnya mengeluarkan mosi tidak percaya dan membentuk pimpinan DPR ‘tandingan’. Inilah klimaks dari kekecewaan itu. Rakyat pun mencapai puncak kekecewaannya terhadap wakil rakyat.
Sudah sebulan dilantik tapi DPR belum berbuat apa-apa. Kabinet Kerja yang baru diumumkan pada 26 Oktober 2014, kiprahnya sudah sampai k emana-mana. Jokowi tidak perlu menunggu setahun untuk meninjau korban Gunung Sinabung di Sumatera Utara.
Begitu dia datang, persoalan relokasi pengungsi yang terjadi sejak gunung itu meletus langsung selesai. Pengungsi akan dipindah ke tempat yang aman, tanah sudah disediakan dan rumah segera dibangun.
Kartu Indonesia pintar dan Kartu Indonesia Sehat untuk orang miskin sudah mulai dibagikan. Aktivitas menteri-menteri yang lain juga sudah terasa. Lantas apa yang sudah dilakukan DPR? Mereka berantem bukan untuk rakyat tapi untuk memenuhi nafsu berkuasa.
Bagi rakyat tidak jadi soal meskipun tanpa DPR karena selama ini mereka juga hanya menimbulkan masalah, makan gaji tinggi tapi masih korupsi. Masalahnya ada tanggung jawab konstitusional yang melekat pada DPR, seperti legislasi, anggaran dan pengawasan. Jadi biar cuma simbol diperlukan pula kehadirannya.
Asal muasal dari semua ini adalah UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau MD3. Dulu pimpinan DPR/MPR adalah partai pememang pemilu.
Berdasar UU MD3 pemilihan pimpinan DPR/MPR sampai komisi harus lewat voting dengan sistem paket lima partai. KIH tidak bisa memenuhi persyaratan ini, sehingga semua dibabat KMP.
UU MD3 itu muncul setelah pemilu, ketika PDIP dipastikan sebagai pemenang. Satu-satunya yang bisa mengadang PDIP adalah sistem pemilihannya.
Maka cepat-cepatlah anggota KMP di DPR yang lama mengubah UU itu. Secara konstitusi tidak salah tapi secara moral tidak bisa dipertanggungjawabkan.
***
Lahirnya UU MD3 ‘dilengkapi’ UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada yang semula langsung diubah menjadi lewat DPRD. Semula semua fraksi menghendaki pilkada langsung. Tapi begitu hasil pemilu diketahui, KMP di DPR berbalik mendukung pilkada tidak langsung. Dalam voting KMP menang karena didukung walkout-nya Demokrat.
KMP semakin percaya diri setelah uji materi yang menentang MD3 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Alasan penolakan, UU MD3 tidak bertentangan dengan konstitusi. Hanya itu pegangan MK bukan yang lain. MK juga tidak memutus perkara dengan pertimbangan moral. Padahal UUD 1945 itu sarat pesan moral.
Semua pihak termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta kedua koalisi bersatu kembali. Tapi ini tidak mudah karena kedua koalisi punya misi berbeda.
KMP menguasai lebih 50 persen kursi dan menguasai semua posisi sampai di komisi. KIH memiliki 40 persen lebih kursi tapi tidak dapat apa-apa, apalagi dia juga pemenang pemilu. Tragis sekali, zaman Soeharto saja tidak setega itu.
Sementara itu politisi PAN Herman Kadir pernah mengatakan, MPR periode ini akan mengamandemen UUD 1945 agar pemilihan presiden dikembalikan lewat MPR.
Itu mudah buat KMP. Saat ini jumlah kursi KIH di MPR: PDIP (109), PKB (47), Nasdem (35), Hanura (16), total 207.
Koalisi Merah Putih: Golkar (91), Gerindra (73), PAN (49), PKS (40), PPP (39), Demokrat (61), jumlahnya 353. Kalau seluruh anggota DPD yang 132 bergabung ke KIH saja baru 339 lawan 353. Padahal sesuai pengalaman tidak semua anggota DPD berada di pihak KIH. PPP masih sulit diprediksi karena internalnya masih ribut.
Jadi apa susahnya membalik zaman. Gaduh politik tidak akan berhenti di sini, masih ada agenda lain. (*)