Tragedi Angeline dan Kita
SEORANG anak perempuan berusia delapan tahun dibunuh. Mayatnya dikubur di pekarangan belakang rumah tempat dia tinggal bersama ibu angkatnya.
SEORANG anak perempuan berusia delapan tahun dibunuh. Mayatnya dikubur di pekarangan belakang rumah tempat dia tinggal bersama ibu angkatnya. Dua pekan sebelumnya, anak ini dikabarkan hilang. Berita ini menggemparkan Tanah Air, media menyiarkannya setiap hari.
Berbagai dugaan dan spekulasi mengenai motif pembunuhan ini pun muncul, mulai dari soal warisan, dendam, kelainan jiwa pelaku, dan lain sebagainya. Ia menyita perhatian nasional, bahkan jaringan televisi internasional pun turut mengabarkan kepada halayaknya.
Simpati bermunculan, lalu-lintas komunikasi di jejaring media sosial tak kalah heboh oleh media arus utama. Pesan-pesan dan berbagai ungkapan emosional menyebar demikian cepat dan serentak. Angeline, bocah korban pembunuhan —yang belakangan juga disebut-sebut jadi korban pemerkosaan pelakunya— jadi topik utama percakapan di berbagai tempat dan lingkungan.
Ya, orang berperasaan pasti tergugah. Mereka yang masih punya rasa kemanusiaan pasti tersentuh. Simpati tak mengenal batas. Ia menerobos sekat-sekat geografis maupun primordial, mengusik relung terdalam hati nurani orang-orang yang memiliki akal sehat.
Peristiwa yang terjadi di Bali itu, mendadak seperti berlangsung di depan mata. Naluri kemanusiaan telah menembus batas-batas ruang dan dinding waktu. Betapa keji dia, atau mereka, yang telah melakukan kejahatan itu. Ia pun mengingatkan kembali semua orang, bahwa masih begitu banyak manusia yang tidak peduli pada keselamatan orang lain, bahkan anak kecil.
Lamanya masa pencarian anak yang dikabarkan hilang itu, dan identifikasi atas keluarga tersebut menunjukkan betapa makin lemah relasi sosial di lingkungan tertentu masyarakat kita. Warga kini cenderung tidak terlalu peduli lagi pada orang-orang di sekitar. Harus diakui, masyarakat semakin individualistis, terutama di kota-kota besar dan kota-kota yang sedang berkembang.
Tragedi Angeline mengingatkan semua orang, bahwa kekerasan terhadap anak terus mengintai. Orang-orang dewasa yang tidak punya perasaan, ada di mana-mana. Bukan hanya di Bali. Angeline dihabisi dan hidupnya berakhir dalam usia dini dengan cara mengenaskan. Di tempat terpisah, “Angeline” lain, anak-anak sebayanya di kota dan tempat yang berbeda, mungkin ada juga yang bernasib sama namun bentuk dan prosesnya tak serupa.
Hingga kini, masih banyak orangtua, dan orang-orang dewasa yang secara sadar “memerkosa” anak-anak melalui tindak-tanduknya yang mengekploitasi mereka secara keras, kasar dan tak mengindahkan hak-haknya.
Anak-anak telantar bergentayangan di jalanan kota-kota, tanpa perlindungan yang berarti. Tak kurang pula anak yang justru ditelantarkan, bahkan sengaja dijadikan alat untuk mencari uang.
Di lingkungan terdekat pun, pubik pasti melihat, mendengar, dan menyaksikan sendiri praktik-praktik penindasan dan eksploitasi anak. Kehadiran tetangga dalam komunitas, sering sekadar sambil lalu, sebagaimana yang berlangsung di lingkungan tempat tinggal keluarga yang mengangkat Angeline sebagai anak.
Bahkan perangkat desa setempat pun menyatakan tak tahu persis tentang apa dan siapa keluarga Angeline. Baru setelah tragedi meledak, semua terperangah. Ya, kasus Angeline mengingatkan kita semua tentang betapa penting memelihara relasi sosial. Hubungan antarindividu di dalam masyarakat yang dari hari ke hari terasa makin renggang, harus segera diperbaiki.
Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa kehadiran negara di tengah lingkup terkecil masyarakat seolah tidak ada. Jika ada, tentu saja publik tidak akan melihat lagi anak-anak telantar atau anak-anak jalanan yang dieksploitasi orang-orang dewasa. (*)