Bumbung

PADA era 1970 dan 1980-an, pemilihan kepala desa (Pilkades) di Jawa banyak diwarnai dengan dihadirkannya

Editor: BPost Online
zoom-inlihat foto Bumbung
dokbpost
H Pramono BS

Oleh: Pramono BS

PADA era 1970 dan 1980-an, pemilihan kepala desa (Pilkades) di Jawa banyak diwarnai dengan dihadirkannya bumbung atau kotak kosong sebagai lawan calon tunggal Kades.

Sebab tidak ada tokoh lain yang sanggup mencalonkan diri dengan pertimbangan biaya atau ketokohan calon lawan yang diramal bakal mengalahkannya. Daripada malu karena kalah lebih baik tidak mencalonkan diri.

Padahal ini pemilihan langsung, tidak mungkin calon tunggal langsung ditetapkan sebagai pemenang seperti pemilihan presiden lewat MPR yang saat itu selalu lewat aklamasi karena ‘hanya’ ada calon tunggal.

Pemilihan gubernur dan bupati/wali kota oleh DPRD juga selalu menampilkan calon boneka sebagai pelengkap demokrasi.

Pilkades waktu itu adalah satu-satunya pemilihan langsung yang masih tersisa di Indonesia dan ini menjadi kebanggaan rakyat.

Tampilnya bumbung adalah bentuk kearifan masyarakat desa yang berfikir lebih sederhana. Nyatanya memang tidak semua calon tunggal terpilih. Banyak kotak kosong yang menjadi ‘pemenang’ sehingga harus dilakukan Pilkades lagi.

Tetapi hak rakyat tidak hilang sehingga rakyat puas. Pilkades adalah tanggung jawab warga, calon tidak ada yang mewakili parpol. Pilkada dicalonkan oleh parpol, jadi sukses tidaknya tergantung parpol.

Fenomena itulah yang kini terjadi, bahkan bisa terjadi lagi pada Pilkada serentak tahap dua yang akan berlangsung pada 2017. Parpol yang takut kalah memilih tidak mendaftarkan calonnya, sehingga hanya ada calon tunggal.

Tentu penyelesaiannya tidak semudah di desa. UU menyebutkan, jika sampai batas akhir pendaftaran hanya ada satu pasangan bakal calon kepala daerah, maka akan diperpanjang tiga hari.

Kalau pada pendaftaran kedua tidak juga ada bakal calon lain, maka sesuai UU, Pilkada diundur hingga 2017. Sedangkan jabatan kepala daerah yang kosong selama dua tahun dijabat oleh seorang pelaksana tugas.

Tetapi untuk menghindari calon tunggal, pemerintah memperpanjang lagi masa pendaftaran, 9-11 Agustus 2015. Kalau masih ada calon tunggal juga, Pilkada diundur. Jika pada Pilkada serentak 2017 masih juga ada yang hanya punya satu pasangan calon, mau diundur kapan lagi?

Banyak kerugian yang dialami rakyat jika Pilkada diundur. Pelaksana tugas adalah pejabat yang tidak berwenang mengambil keputusan strategis, lantas bagaimana kelanjutan pembangunan daerah itu?

Hak rakyat untuk memilih juga hilang, sedang pasangan calon tunggal yang sudah mempersiapkan diri bisa kehilangan dukungan karena waktu dua tahun bisa saja membuat orang beralih pilihan.

***

Pilkades dan Pilkada memang beda kelas, yang berkepentingan pun berbeda. Pilkades hanya kepentingan rakyat, yang dicoblos pun tanda gambar semacam ubi, jagung, pisang atau hasil bumi lain yang menandakan tidak adanya kaitan politik. Baru sekarang Pilkades beraroma politik bahkan dipolitisasi.

Pilkada juga untuk pentingan rakyat agar memiliki pemimpin yang definitif. Tetapi yang lebih berkepentingan sebenarnya parpol, kepentingan rakyat hanyalah pemanis. Ini bisa dilihat dari cara-cara parpol memainkan peranannya.

Mahar masih tetap dominan untuk menentukan bakal calon, bukan ideologi yang menjadi ciri tiap parpol. Simbol perjuangan yang di tingkat pusat ditunjukkan lewat Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) pun luntur oleh kepentingan. Jadi kalau parpol mengatakan untuk kepentingan rakyat sebenarnya juga berlebihan.

Munculnya calon tunggal juga tidak lain permainan strategi lawan agar Pilkada ditunda karena lawannya cukup berat. Keinginan sementara fraksi-fraksi DPR tempo hari agar Pilkada serentak ditunda dengan berbagai argumen, menunjukkan iktikad yang tidak baik, karena mereka sebenarnya belum siap.

Karena itu permainan seperti ini harus diimbangi keputusan berani pemerintah sehingga meski pasangan calon hanya tunggal pun Pilkada tetap jalan.

Ada yang usul, agar di daerah yang calonnya tunggal, pemenangnya ditetapkan saja oleh DPRD setempat sebagai representasi rakyat.

Adapula yang usul digelar referendum, rakyat tinggal memilih iya atau tidak. Ini esensinya sama dengan melawan bumbung atau kotak kosong. Di saat menghadapi kebuntuan, kearifan memang diperlukan. Tak perlu malu dengan orang desa. Hitung-hitung ini kado buat peringatan 70 tahun kemerdekaan. (*)

Tags
Spirit
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved